Mengenal Sosok Kyai Haji Ajengan Ahmad Sanusi: Tokoh Kyai Tradisional Jawa Barat (3)

Kyai Haji Ajengan Ahmad Sanusi (Ist)

Masalah Zakat, Fitrah dan Slametan

Kiyai Haji (KH) Ajengan Ahmad Sanusi dapat dikatakan termasuk kelompok Islam tradisional yang mengikuti paham mazhab Syafi'i. la percaya pintu ijtihad masih terbuka, namun ia sendiri mengaku tidak melakukan ijtihad, sebab untuk melakukan itu bukanlah hal yang mudah.

Menurut pendapatnya, tidak benar setiap berijtihad dalam masalah agama selalu mendapat ganjaran walaupun hasil ijtihad-nya itu salah. Kecuali jika sebelumnya telah memenuhi persyaratan untuk berijtihad. Karena itu, apa yang diajarkan kepada para santrinya atau jawaban yang diberikan terhadap persoalan yang diajukan kepadanya, semuanya didasarkan pada apa yang telah dipelajarinya dari guru-guru dan kitab-kitab ulama terdahulu. (21)

Dia memiliki beberapa pandangan yang berbeda dalam memandang praktek keagamaan, bukan saja dengan para pembaru melainkan juga dengan sesama kaum tradisi.

Misalnya, dalam masalah pengumpulan zakat, fitrah dan slametan. Menurutnya, pengumpulan zakat dan fitrah oleh para lebe atau amil dari pakauman, (22) yang kemudian disetorkan kepada naib dan seterusnya kepada Hoofd penghulu atau Penghulu Kepala di kabupaten, adalah salah kaprah.

Masalah zakat dan fitrah adalah urusan umat Islalm, bukan urusan pemerintah. Apalagi dalam peraturan pemerintah sudah ditegaskan bahwa pemerintah tidak akan ikut campur dalam urusan agama Islam. Karenanya, zakat dan fitrah tidak perlu diserahkan kepada pemerintah, tapi dikumpulkan kepada amil yang ditunjuk masyarakat, untuk seterusnya dibagikan kepada mustahik (orang yang berhak menerima zakat). (23)

Fatwa itu mendapat banyak sambutan masyarakat, terutama kalangan agamawan yang berada di luar pengaruh ulama pakauman. Hal ini terbukti dengan semakin banyaknya masyarakat yang menolak menyerahkan zakat dan fitrah ke amil-amil pemerintah. (24)

Sebaliknya pihak Pakauman menentang keras fatwa ini. Hal ini dapat dimengerti karena pada saat itu masalah zakat dan fitrah ditangani oleh Bupati melalui Penghulu Kepala, Penghulu dan ponggawa kaum yang menjadi bawahannya sampai ke tingkat amil di pedesaan. Khususnya para amil yang menerima 30% dari zakat dan fitrah sebagai gajinya, setelah sebagian disetorkan kepada penghulu, sesuai dengan "kuota" yang telah ditentukan.

Karena itu, fatwa KHA Ahmad Sanusi dirasakan oleh mereka, bukan saja sekadar menyinggung dasar hukum masalah zakat dan fitrah melainkan juga menggugat keabsahan mereka sebagai pemegang otoritas pengumpul dan penyalur. Dapat diartikan kewibawaan mereka dikalangan masyarakat mulai terancam.

Lebih jauh lagi, secara ekonomis fatwa itu juga mengancam sebagian sumber penghasilan mereka, khususnya para "eselon" bawah di tingkat pedesaan. Sebab para pejabat "eselon" atas umumnya merupakan orang yang cukup berada dan tidak sedikit dari mereka yang mempunyai ikatan keluarga dengan keluarga Bupati.

KHA Ahmad Sanusi juga mengkritik upacara ketiga harinya, ketujuh hari, dan seterusnya bagi orang yang telah meninggal (slametan), kebiasaan yang saat itu biasa dilakukan masyarakat. Menurutnya perbuatan itu hukumnya makruh, malah bisa menjadi haram hukumnya jika prakteknya dianggap sebagai ketentuan agama mengikuti waktu - waktu yang telah ditentukan tadi.

Reaksi keras terhadap fatwa ini datangnya juga dari pihak Pakauman, khususnya Kyai Raden Haji Uyek Abdullah, anggota Raad Igama, yang juga menjabat imam kaum Sukabumi. la mengatakan upacara slametan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. (25)

Perbedaan pendapat dengan cepat menimbulkan keresahan masyarakat di Sukabumi. Untuk meredakan suasana, Penghulu Kepala Kabupaten Sukabumi berinisiatif mempertemukan langsung kedua kyai itu dalam satu majlis umum. (26)

Sebenarnya masyarakat saat itu mengharapkan yang diajukan ke majlis umum tidak terbatas pada masalah slametan, melainkan juga masalah zakat dan fitrah. Namun entah bagaimana, masalah yang disebutkan terakhir itu tidak dikutak-kutik. Walaupun pengaruhnya di masyarakat lebih besar jika dibandingkan dengan masalah selametan.

Meskipun demikian, sebagian besar masyarakat merasa lega dengan hasil perdebatan itu. Mereka tidak merasa bimbang lagi dengan masalah slametan, karena sudah mempunyai landasan hukumnya sebagai pegangan. Bersambung!

Rilis/Editor: A Malik AS (CEO/Pemred sukabumiNews)

Keterangan
  • (21) Haji Ahmad Sanusi, Fiqhul Akbar (Batavia Centrum - Weltevreden: Sayyid Yahya bin Ustman al-Alawi, 1929), "Mukkadimah."
  • (22) kaum kurang lebih sama dengan mesjid raya tingkat bkecamatan dan kabupaten yang saat itu berfungsi sebagai kantor urusan agama.
  • (23) Haji Ahmad Sanusi, Qowaninuddinniyyah Waduniawiyahfi Bayaani Umuri Zakati Walfitrah. Tanpa tahun, hal. 16.
  • (24) Lihat surat Adviseur voor Inlandse Zaken tanggal 7 Mei 1928 No. 1/149 Rahasia, salinan dalam Mailr. Geheim No. 679x/28, ARA.
  • (25) Sipahoetar, Op.cit.; Kaoem Moeda, No. 42, 2 dan 7 Maret 1921.
  • (26) Usaha itu berhasil dilaksanakan pada Maret 1921 di kota Sukabumi. Peristiwa ini merupakan perdebatan terbuka pertama dalam satu majlis di Jawa Barat yang jauh mendahului tradisi perdebatan antara Persis dengan NU atau Persus dengan Al-Ittihadiyatul Islamiyyah (All).

Post a Comment

Anda boleh berkomentar sesuai dengan tema artikel di atas. Lain dari itu, komentar Anda tidak akan dipublikasikan. Terimakasih.

أحدث أقدم