![]() |
Kyai Haji Ajengan Ahmad Sanusi (Ist) |
Masalah Zakat, Fitrah dan Slametan
Kiyai Haji (KH) Ajengan Ahmad Sanusi
dapat dikatakan termasuk kelompok Islam tradisional yang mengikuti paham mazhab
Syafi'i. la percaya pintu ijtihad masih terbuka, namun ia sendiri mengaku tidak
melakukan ijtihad, sebab untuk melakukan itu bukanlah hal yang mudah.
Menurut pendapatnya,
tidak benar setiap berijtihad dalam masalah agama selalu mendapat ganjaran
walaupun hasil ijtihad-nya itu salah. Kecuali jika sebelumnya telah memenuhi
persyaratan untuk berijtihad. Karena itu, apa yang diajarkan kepada para
santrinya atau jawaban yang diberikan terhadap persoalan yang diajukan
kepadanya, semuanya didasarkan pada apa yang telah dipelajarinya dari guru-guru
dan kitab-kitab ulama terdahulu. (21)
Dia memiliki beberapa
pandangan yang berbeda dalam memandang praktek keagamaan, bukan saja dengan
para pembaru melainkan juga dengan sesama kaum tradisi.
Misalnya, dalam
masalah pengumpulan zakat, fitrah dan slametan. Menurutnya, pengumpulan zakat
dan fitrah oleh para lebe atau amil dari pakauman, (22) yang kemudian
disetorkan kepada naib dan seterusnya kepada Hoofd penghulu atau Penghulu
Kepala di kabupaten, adalah salah kaprah.
Masalah zakat dan
fitrah adalah urusan umat Islalm, bukan urusan pemerintah. Apalagi dalam
peraturan pemerintah sudah ditegaskan bahwa pemerintah tidak akan ikut campur
dalam urusan agama Islam. Karenanya, zakat dan fitrah tidak perlu diserahkan
kepada pemerintah, tapi dikumpulkan kepada amil yang ditunjuk masyarakat, untuk
seterusnya dibagikan kepada mustahik (orang yang berhak menerima zakat). (23)
Fatwa itu mendapat
banyak sambutan masyarakat, terutama kalangan agamawan yang berada di luar
pengaruh ulama pakauman. Hal ini terbukti dengan semakin banyaknya masyarakat
yang menolak menyerahkan zakat dan fitrah ke amil-amil pemerintah. (24)
Sebaliknya pihak Pakauman
menentang keras fatwa ini. Hal ini dapat dimengerti karena pada saat itu
masalah zakat dan fitrah ditangani oleh Bupati melalui Penghulu Kepala,
Penghulu dan ponggawa kaum yang menjadi bawahannya sampai ke tingkat amil di
pedesaan. Khususnya para amil yang menerima 30% dari zakat dan fitrah sebagai
gajinya, setelah sebagian disetorkan kepada penghulu, sesuai dengan
"kuota" yang telah ditentukan.
Karena itu, fatwa KHA
Ahmad Sanusi dirasakan oleh mereka, bukan saja sekadar menyinggung dasar hukum
masalah zakat dan fitrah melainkan juga menggugat keabsahan mereka sebagai
pemegang otoritas pengumpul dan penyalur. Dapat diartikan kewibawaan mereka
dikalangan masyarakat mulai terancam.
Lebih jauh lagi,
secara ekonomis fatwa itu juga mengancam sebagian sumber penghasilan mereka,
khususnya para "eselon" bawah di tingkat pedesaan. Sebab para pejabat
"eselon" atas umumnya merupakan orang yang cukup berada dan tidak
sedikit dari mereka yang mempunyai ikatan keluarga dengan keluarga Bupati.
KHA Ahmad Sanusi juga
mengkritik upacara ketiga harinya, ketujuh hari, dan seterusnya bagi orang yang
telah meninggal (slametan), kebiasaan yang saat itu biasa dilakukan masyarakat.
Menurutnya perbuatan itu hukumnya makruh, malah bisa menjadi haram hukumnya
jika prakteknya dianggap sebagai ketentuan agama mengikuti waktu - waktu yang
telah ditentukan tadi.
Reaksi keras terhadap
fatwa ini datangnya juga dari pihak Pakauman, khususnya Kyai Raden Haji Uyek
Abdullah, anggota Raad Igama, yang juga menjabat imam kaum Sukabumi. la mengatakan
upacara slametan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. (25)
Perbedaan pendapat
dengan cepat menimbulkan keresahan masyarakat di Sukabumi. Untuk meredakan
suasana, Penghulu Kepala Kabupaten Sukabumi berinisiatif mempertemukan langsung
kedua kyai itu dalam satu majlis umum. (26)
- (21) Haji Ahmad Sanusi, Fiqhul Akbar (Batavia Centrum - Weltevreden: Sayyid Yahya bin Ustman al-Alawi, 1929), "Mukkadimah."
- (22) kaum kurang lebih sama dengan mesjid raya tingkat bkecamatan dan kabupaten yang saat itu berfungsi sebagai kantor urusan agama.
- (23) Haji Ahmad Sanusi, Qowaninuddinniyyah Waduniawiyahfi Bayaani Umuri Zakati Walfitrah. Tanpa tahun, hal. 16.
- (24) Lihat surat Adviseur voor Inlandse Zaken tanggal 7 Mei 1928 No. 1/149 Rahasia, salinan dalam Mailr. Geheim No. 679x/28, ARA.
- (25) Sipahoetar, Op.cit.; Kaoem Moeda, No. 42, 2 dan 7 Maret 1921.
- (26) Usaha itu berhasil dilaksanakan pada Maret 1921 di kota Sukabumi. Peristiwa ini merupakan perdebatan terbuka pertama dalam satu majlis di Jawa Barat yang jauh mendahului tradisi perdebatan antara Persis dengan NU atau Persus dengan Al-Ittihadiyatul Islamiyyah (All).
إرسال تعليق
Anda boleh berkomentar sesuai dengan tema artikel di atas. Lain dari itu, komentar Anda tidak akan dipublikasikan. Terimakasih.