Ramadhan, Saat Tepat Menautkan Hati Anak ke Masjid
Pada Ramadhan anak-anak selalu dalam barisan dan jamaah di masjid. Tugas kita, menjaga anak-anak agar hatinya terus terpaut dengan masjid. Caranya? [Foto: Istimewa/Net] |
SEHATNYA fisik, besarnya otot, kuatnya tenaga, serta
cerdasnya akal dan banyaknya pengetahuan, tidak serta merta menjamin seorang
anak dapat berangkat ke masjid. Seluruh potensi dahsyat itu seolah tak
berfungsi.
Baginya, shalat berjamaah di masjid sesuatu yang
sangat berat, dan sulit. Lebih sulit dari sekadar lari berpuluh-puluh kilo
meter, dan mengangkat puluhan kilo gram besi.
Jawabannya, tentu karena tidak ada rasa cinta dan
butuh kepada masjid. Masjid dianggap tidak menarik.
Seorang anak yang tidak ada rasa cinta dalam hatinya
kepada masjid, maka panggilan adzan terasa berat. Semerdu apapun suara muadzin.
Masjid ibarat tempat yang membosankan, tak menarik,
dan tidak penting. Sedekat apa pun masjid dari rumah dan tempatnya berada.
Jaraknya tetap seperti berpuluh-puluh kilo meter. Jauh sekali.
Sebaliknya, jika hati telah terpaut kepada masjid dan
dibuncahi rasa cinta, maka kumandang adzan terdengar begitu indah, dan
menggembirakan. Bahkan, selalu dinanti, “Kapan shalat akan tiba? Kapan adzan
akan berkumandang?”
Dan jika azan itu berkumandang, sesibuk apa pun,
sejauh apa pun jaraknya dari masjid, maka akan ditunaikan. Bersebab, shalat dan
masjid ibarat obat penawar rindu.
Sehari tak ke masjid, ada rindu yang bergelora.
Tersiksa.
Terkait hati yang bergantung ke masjid—sebagaimana
tertulis dalam hadits shahih—ada penjelasan menarik dari Ibnu Hajar.
Menurutnya, hati yang bergantung itu seperti sesuatu
yang tergantung di masjid seperti lampu sebagai bukti dari ketergantungan
hatinya meskipun jasadnya tidak berada di dalam masjid. Jadi, meski fisik
berada jauh dari masjid. Tetapi hatinya selalu merindukan dan ingin selalu
mendatanginya.
Tiadalah manusia yang hatinya paling bergantung kepada
masjid kecuali Nabi Muhammad ï·º.
Bahkan masjid menurut Nabi adalah tempat yang sangat disukainya.
Karena itu, hatinya selalu diliputi selaksa rindu
untuk selalu datang, dan hadir ke masjid. Dalam keadaan apapun: sakit apalagi
sibuk.
Selain Nabi Muhammad ï·º, para sahabat, tabiin, dan ulama salaf juga selalu menautkan
hatinya ke masjid. Bayangkan, seorang tabiin bernama Said bin al-Musayyab tidak
pernah melewatkan shalat berjamaah selama empat puluh tahun.
Pembantunya, Barad sampai kagum kepadanya. Tak ada
shalat yang dilakukannya selama empat puluh tahun, kecuali Said telah berada di
dalam masjid.
Berbeda lagi Ar-Rabi bin Khutsaim yang dalam keadaan
sakit masih memaksakan diri pergi shalat berjamaah di masjid. Padahal, banyak
orang yang menasihati untuk shalat di rumah.
Namun, Abu Yazid—panggilan akrabnya—hanya menjawab,
“Sesungguhnya aku ingin mengikuti saran kalian. Tetapi saat mendengar hayya
‘ala alfalah—siapa pun dia—wajib menjawab panggilan itu, meski harus merangkak
atau merayap.”
Said bin al-Musayyab dan Ar-Rabi bin Khutsaim adalah
dua contoh sosok orang hebat yang hatinya selalu bergantung dan tertaut ke
masjid. Buktinya, keduanya bertahan dan bisa menjaga shalat berjamaah di masjid
puluhan tahun lamanya.
Bahkan, Abu Yazid dalam keadaan sakit sekalipun tetap
melakukannya. Baginya shalat berjamaah di masjid adalah kenikmatan, dan
kebutuhan yang tak ternilai harganya.
Dari dua contoh ini bukti bahwa orang-orang yang mampu
menjawab seruan adzan adalah orang-orang terpilih. Bersebab, kuatnya fisik,
besarnya otot, serta cerdasnya otak seseorang bukan jaminan hatinya tergerak
untuk beranjak ke masjid setiap kali adzan berkumandang.
Merekalah yang cinta kepada masjid, yang hatinya
selalu tertaut kepada masjid, dan yang selalu menitipkan rindu setiap kali
tidak bersualah, yang insyaAllah mampu memenuhi panggilan suara adzan.
Cinta Masjid
Salah satu cara untuk menautkan dan menggantungkan
hati anak ke masjid adalah dengan cara menumbuhkan rasa cinta kepadanya. Hati
anak yang sudah tertaut akan merasa bahagia, senang, dan selalu ada buncahan rindu
ingin selalu ke masjid.
Jika mendengar suara adzan, sesibuk apa pun, dia akan
berusaha memenuhinya. Sekali saja tidak shalat berjamaah di masjid ada rasa
rugi, dan gersang di dalam jiwa.
Caranya, sejak sedini mungkin anak diakrabkan dengan
masjid. Orangtua harus membawanya ke masjid.
Interaksi yang intens anak dengan masjid akan
menumbuhkan kebiasaan dan rasa senang. Anak tahu apa itu adzan, shalat,
berwudhu, mengaji, dan kajian yang diadakan di masjid.
Begitu juga Nabi Muhammad ï·º yang membawa cucunya, Hasan dan Husein ke masjid. Diperlihatkan
kepadanya cara shalat, dan lain sebagainya.
Tak kalah penting juga masjid harus ramah dan akrab
dengan anak-anak. Jangan sampai hanya karena dianggap menggangu, anak-anak
kecil lalu dimarahi, dan dilarang ke masjid.
Kejadian seperti ini sering sekali terjadi. Karena
itu, ada baiknya takmir masjid membuat regulasi atau tempat khusus agar anak
tidak ribut menganggu orang dewasa shalat.
Salah satunya bisa diberikan shaf khusus anak atau ada
yang bertugas menjaganya.
Orangtua harus mengambil peran ini. Sebab, jika tidak,
bisa jadi mereka nanti akan mencari tempat lain yang dianggap lebih aman,
nyaman, dan membahagiakan.
Lalu, tempat seperti warung internet, playstation,
tempat nongkrong, dan lain sebagainya jadi idola. Sedangkan masjid ditinggalkan
karena dianggap tidak asyik.
Akhirnyamasjid sepi tanpa anak-anak. Isinya hanya
orangtua.
Orangtua juga harus memberikan nasihat, dan motivasi
agar anak paham alasan kenapa harus ke masjid. Seringlah mengajari anak membaca
Iqra, atau pun al-Qur’an.
Dudukkan mereka di depan Anda atau dipangku lalu minta
mereka membaca huruf demi huruf, ayat demi ayat al-Qur’an. Jangan sampai
orangtua yang bisa membaca al-Qur’an dengan baik tidak mengajarinya, justru
menyuruh orang lain.
Semoga generasi kita bisa jadi anak yang hebat, dan
kuat. Bukan hanya karena fisiknya yang kuat, bukan pula hanya karena otaknya
yang cerdas, tetapi juga karena hati, dan pikiranya yang selalu tertaut ke
masjid.
Sebagaimana Said bin al-Musayyab dan Ar-Rabi bin Khutsaim
yang selalu merindukan masjid. Amin, Ya Rabb.
BACA Juga: Hikmah Ramadhan
Penulis: Syaiful Anshor (Penulis dan Guru Madrasah)
Leave Comments
Post a Comment
Anda boleh berkomentar sesuai dengan tema artikel di atas. Lain dari itu, komentar Anda tidak akan dipublikasikan. Terimakasih.