hukum
kabarislami
khazanahIslam
Sumber: REPUBLIKA.CO.ID
Artikel ini juga telah tayang di sukabumiNews.net dengan judul yang sama
Hukum Mengangkat Anak dalam Islam
Sunday, January 5, 2020
0
Ilustrasi Adopsi Anak |
Islam telah lama
mengatur tentang mengangkat anak atau adopsi anak.
MEMILIKI anak angkat lewat jalan adopsi kerap menjadi salah satu solusi pilihan
pasangan suami istri yang tidak bisa memiliki keturunan. Islam telah lama
mengenal istilah tabbani, yang di era modern ini disebut adopsi. Rasulullah SAW
bahkan mempraktikkannya langsung, yakni ketika mengangkat Zaid bin Haritshah
sebagai anak nya.
Tabanni secara
harfiah diartikan sebagai seseorang yang mengambil anak orang lain untuk
diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memberi kasih
sayang, nafkah pendidikan, dan keperluan lainnya. Secara hukum anak itu
bukanlah anaknya. Adopsi dinilai sebagai perbuatan yang pantas dikerjakan oleh
pasangan suami istri yang luas rezekinya, tapi belum dikaruniai anak. Maka itu,
sangat baik jika mengambil anak orang lain yang kurang mam pu agar mendapat
kasih sa yang ibu-bapak (karena yatim piatu), atau untuk mendidik dan
memberikan kesempatan belajar kepadanya.
Di Indonesia,
peraturan terkait pengangkatan anak terdapat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak. Demikian pula Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
turut memperhatikan aspek ini. Pasal 171 huruf h KHI menyebutkan, anak angkat
adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya
pendidikan, dan sebagainya, beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal
kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Kalangan Majelis
Ulama Indonesia (MUI) sejak lama sudah memfatwakan tentang adopsi.
Fatwa itu menjadi
salah satu hasil Rapat Kerja Nasional MUI yang berlangsung Maret 1984. Pada
salah satu butir pertimbangannya, para ulama memandang, Islam mengakui
keturunan (nasab) yang sah, ialah anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan).
Namun, MUI mengingatkan, ketika mengangkat (adopsi) anak, jangan sampai si anak
putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya.
Sebab, hal ini
bertentangan de ngan syariat Islam.Banyak dalil yang mendasarinya. Seperti
surah al-Ahzab ayat 4, "Dan, dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu
sebagai anak kandungmu (sen diri); yang demikian itu hanyalah perkataanmu di
mulutmu saja. Dan, Allah mengatakan yang se benarnya dan Dia menunjukkan jalan
yang benar.''
Begitu pula surah
al-Ahzab ayat 5, "Panggilan mereka (anak angkat) itu dengan memakai nama
bapak-bapak mereka, itulah yang paling adil di hadapan Allah. Jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, (panggilah mereka sebagai) saudaramu seagama dan
mula-mula (hamba sahaya yang di merdekakan).''
Surah al-Ahzab ayat
40 kem bali menegaskan, "Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari
seorang laki-laki di antara, tetapi ia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.
Dan, Allah Maha Mengetahui Segala sesuatu.''
Nabi Muhammad SAW
bersabda, "Dan, Abu Zar RA sesungguhnya ia mendengar Rasulullah bersabda,
"Tidak seorang pun mengakui (membangsakan diri) kepada bukan ayah yang
sebenarnya, sedang ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur.''
(HR Bukhari dan Muslim).
Dalam fatwanya MUI
memandang, mengangkat anak hendaknya tidak lantas mengubah status (nasab) dan
agamanya. Misalnya, dengan menyematkan nama orang tua angkat di bela kang nama
si anak. Rasulullah telah mencontohkan. Beliau tetap mempertahankan nama ayah
kandung Zaid, yakni Haritsah di belakang namanya, tidak lantas mengubahnya
dengan nama bin Muhammad.
MUI mengharapkan,
supaya adopsi dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara,
mengasuh, dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang, seperti anak sendiri.
Ini adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal saleh.
"Tidak diragukan
lagi bahwa usaha semacam itu merupakan perbuatan yang terpuji dan dianjurkan
oleh agama serta diberi pahala,'' demikian fatwa MUI. Nantinya, bagi ayah
angkat, boleh mewasiatkan sebagian dari peninggalannya untuk anak angkat nya,
sebagai persiapan masa depannya agar ia merasakan ketenangan hidup.
Para ulama di Tanah
Air telah menfatwakan, pengangkatan anak Indonesia oleh Warga Negara Asing,
selain bertentangan dengan UUD 1945 pasal 34, juga merendahkan martabat bangsa.
Ulama Nahdlatul Ulama
(NU) dalam Munas Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur pada 21 Desember 1983 juga
telah menetapkan fatwa tentang Adopsi. Dalam fatwanya ulama NU menyatakan,
"Mengangkat anak orang lain untuk diperlakukan, dijadikan, diakui sebagai
anak sendiri hukumnya tidak sah.''
Sebagai dasar
hukumnya, ulama NU mengutip hadis Nabi SAW. "Barang siapa mengaku orang
lain sebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa orang tersebut bukan bapaknya, maka
surga diharam kan terhadap dirinya.'' Qata dah berkata, siapa pun tidak boleh
mengatakan "Zaid itu putra Muhammad''. (Khazin, Juz Vi hlm 191)
"Pengangkatan
anak tak bisa menjadikan anak itu sederajat dengan anak sendiri di dalam
nashab, mahram, ataupun hak waris,'' kata ulama NU dalam fatwanya.
Artikel ini juga telah tayang di sukabumiNews.net dengan judul yang sama
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment
Anda boleh berkomentar sesuai dengan tema artikel di atas. Lain dari itu, komentar Anda tidak akan dipublikasikan. Terimakasih.