dakwah
duha
taubat
Dirangkum dari berbagai sumber kitab hadits.
[Referensi : majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVIII/1436H/2014M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Shalat Awwabin dan Saat yang Tepat untuk Mengerjakannya
Monday, December 30, 2019
0
Pertanyaan.
Assalamualaikum, mau
tanya tentang shalat Awwabin yang dilakukan setelah shalat Maghrib dan sebelum
masuk waktu Shalat Isya, apakah ada dalilnya? Lalu apakah hadits tentang shalat
Awwâbin berikut ini shahih atau tidak? Artinya, “Barangsiapa melakukan shalat
sunnah enam rakaat setelah shalat Maghrib dan di antara shalat-shalat itu tidak
berkata dengan kata-kata yang buruk, maka shalatnya sebanding dengan ibadah dua
belas tahun”. 081225xxxxx
Jawaban.
Perlu dijelaskan
bahwa kata Awwâbiin (أَوَّابِيْن) berasal dari bahasa Arab yaitu Awab (أَوَّاب) yang
artinya adalah ruju’ atau kembali. Jadi, maka awwâb adalah rajja’ atau munîb,
yaitu orang yang sering bertaubat (dari dosa dan kesalahan). Shalat Awwâbîn
adalah shalat orang-orang yang taat kepada Allâh Azza wa Jalla. Shalat sunnah
Awwâbîn sebenarnya adalah Shalat Dhuha yang dilakukan setelah matahri terbit
dan agak meninggi hingga menjelang waktu shalat Zhuhur, sebagaimana disampaikan
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. diantaranya:
Hadits Zaid bin Arqam
Radhiyallahu anhu, ia berkata :
خَرَجَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَهْلِ قُبَاءَ وَهُمْ يُصَلُّونَ، فَقَالَ:
صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ إِذَا رَمِضَتِ الْفِصَالُ
Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju orang-orang di masjid Quba’ dimana
mereka sedang melaksanakan shalat. Maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Shalat Awwâbîn dilakukan saat anak-anak unta telah kepanasan” [HR.
Muslim no. 748]
Dalam riwayat Imam
Ahmad dari Zaid bin Arqam Radhiyallahu anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى عَلَى مَسْجِدِ قُبَاءَ أَوْ دَخَلَ مَسْجِدَ
قُبَاءَ بَعْدَمَا أَشْرَقَتِ الشَّمْسُ فَإِذَا هُمْ يُصَلُّوْنَ فَقَالَ إِنَّ صَلاَةَ
الأَوَّابِيْنَ كَانُوْا يُصَلُّوْنَهَا إِذَا رَمَضَتِ الْفِصَالُ
Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mendatangi atau memasuki masjid Quba’ setelah matahari terbit
yang ketika itu orang-orang sedang melakukan shalat. Maka Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Shalat Awwâbîn, mereka melakukannya saat anak unta
kepanasan. [HR. Ahmad no. 19366]
Dari al-Qâsim
asy-Syaibani Radhiyallahu anhu :
أَنَّ زَيْدَ بْنَ
أَرْقَمَ، رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ مِنَ الضُّحَى، فَقَالَ: أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا
أَنَّ الصَّلَاةَ فِي غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ، إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ»
Zaid bin Arqam
Radhiyallahu anhu melihat beberapa orang yang sedang melaksanakan shalat di
waktu Dhuha, maka ia berkata : “Tidakkah mereka mengetahui bahwa shalat di
selain waktu ini lebih utama ? Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda : “Shalat Awwâbîn dilakukan saat anak unta kepanasan”. [HR. Muslim no.
748]
Pengingkaran Zaid bin
Arqam Radhiyallahu anhu ini bukan pengingkaran terhadap keberadaan shalat
Dhuha, akan tetapi pengingkarannya supaya orang-orang melakukannya ketika
matahari telah meninggi sehingga mereka mendapatkan pahala yang lebih besar.
Karena waktu pelaksanaan shalat Dhuha (shalat Awwâbîn) yang paling utama adalah
ketika matahari telah memanas.
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu
anhu ia berkata :
أَوْصَانِي خَلِيلِي
بِثَلَاثٍ لَسْتُ بِتَارِكِهِنَّ، أَنْ لَا أَنَامُ إِلَّا عَلَى وِتْرٍ، وَأَنْ لَا
أَدَعَ رَكْعَتَيِ الضُّحَى فَإِنَّهَا صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ، وَصِيَامِ ثَلَاثَةِ
أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ.
Kekasihku telah
mewasiatiku dengan tiga hal untuk tidak aku tinggalkan; yaitu : Melakukan witir
sebelum tidur, tidak meninggalkan dua raka’at shalat Dhuha – karena
sesungguhnya ia adalah shalat Awwâbîn (shalatnya orang-orang yang taat kepada
Allâh) – , dan puasa tiga hari setiap bulan” [HR. Ibnu Khuzaimah dalam
Shahih-nya no. 1223]
Demikian juga Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
لاَ يُحَافِظُ عَلَى
صَلاَةِ الضُّحَى إِلاَّ أَوَّابٌ وَهِيَ صَلاَةُ الأَوَّابِيْنَ
Tidak ada yang bisa
menjaga shalat dhuha kecuali orang awwab (sering bertaubat). Dan dia (dhuha)
adalah shalat awwâbîn (shalatnya orang yang senang bertaubat).” [Silsilah
as-Shahîhah, no. 703].
Imam An-Nawawi
rahimahullah berkata :
Sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya-red), “Shalat Awwâbîn dilakukan
saat anak unta kepanasan” ; yaitu dengan memfathahkan huruf ta’ dan mim.
Dikatakan ramidha – yarmadhu, maka hal ini seperti kata ‘alima – ya’lamu. Makna
ar-Ramdhâ’ yaitu kerikil yang menjadi sangat panas karena terik matahari dimana
saat kuku-kuku al-fishâl (yaitu anak-anak unta yang masih kecil – bentuk
jamaknya adalah fashîlun) terbakar karena panasnya kerikil. Dan al-awwâb adalah
orang yang taat (al-muthî’). Dan dikatakan orang yang kembali kepada ketaatan.
Di dalam hadits ini terdapat keutamaan shalat pada waktu tersebut. Para shahabat kami berkata, “Ia merupakan waktu shalat Dhuha yang paling utama, sekalipun shalat Dhuha boleh dilakukan sejak matahari terbit dan agak meninggi hingga waktu zawal (tergelincirnya matahari di tengah hari). [lihat Syarah Shahih Muslim lin-Nawawi hal. 614; Maktabah Ash-Shaid].
Di dalam hadits ini terdapat keutamaan shalat pada waktu tersebut. Para shahabat kami berkata, “Ia merupakan waktu shalat Dhuha yang paling utama, sekalipun shalat Dhuha boleh dilakukan sejak matahari terbit dan agak meninggi hingga waktu zawal (tergelincirnya matahari di tengah hari). [lihat Syarah Shahih Muslim lin-Nawawi hal. 614; Maktabah Ash-Shaid].
Namun ada anggapan
dari sebagian orang yang menamakan shalat sunah yang dilaksanakan antara waktu
halat Maghrib dan Isya’ dengan istilah shalat awwâbîn sebagaimana yang ditanyakan.
Syaikh al-Albani
rahimahullah mengatakan, “Dalam hadis ini terdapat bantahan bagi orang yang
menamakan shalat enam rakaat setelah shalat Maghrib dengan shalat Awwâbin,
karena penamaan ini tidak ada asalnya.” [Shahîh Targhîb wa Tarhîb, 1/423].
Memang ada beberapa
hadis yang menganjurkan shalat sunnah antara Magrib dan Isya, diantaranya
hadits yang diriwayatkan an-Nasâ’i, dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, beliau
Radhiyallahu anhu mengatakan,
Saya mendatangi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan saya shalat Maghrib bersama Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
shalat (sunnah) sampai Isya.
Al-Mundziri dalam
at-Targhîb wa Tarhîb menyatakan, sanad hadits ini jayid.
Setelah membawakan
berbagai dalil tentang anjuran shalat sunnah antara Maghrib dan Isya,
as-Syaukani rahimahullah mengatakan, “Ayat dan hadits yang disebutkan
menunjukkan disyaratkannya memperbanyak shalat antara Maghrib dan Isya.
Al-Irâqi mengatakan; ‘di antara Shahabat yang melaksanakan shalat antara Maghrib dan Isya adalah Ibnu Mas’ûd, Ibnu Umar, Salmân al-Fârisi, dan Ibnu Mâlik dari kalangan Anshar Radhiyallahu anhum. Kemudian di kalangan tâbi’in, ada al-Aswad bin Yazid, Utsmân an-Nahdi, Ibnu Abi Mulaikah, Said bin Jubair, Ibnul Munkadir, Abu Hatim, Abdullah bin Sikkhir, Ali bin Husain, Abu Abdirrahman al-Uhaili, Qadhi Syuraih, dan Abdullah bin Mughaffal rahimahumullâh. Sementara Ulama yang juga merutinkannya adalah Sufyân at-Tsauri. [Nailul Authâr, 3/60]
Al-Irâqi mengatakan; ‘di antara Shahabat yang melaksanakan shalat antara Maghrib dan Isya adalah Ibnu Mas’ûd, Ibnu Umar, Salmân al-Fârisi, dan Ibnu Mâlik dari kalangan Anshar Radhiyallahu anhum. Kemudian di kalangan tâbi’in, ada al-Aswad bin Yazid, Utsmân an-Nahdi, Ibnu Abi Mulaikah, Said bin Jubair, Ibnul Munkadir, Abu Hatim, Abdullah bin Sikkhir, Ali bin Husain, Abu Abdirrahman al-Uhaili, Qadhi Syuraih, dan Abdullah bin Mughaffal rahimahumullâh. Sementara Ulama yang juga merutinkannya adalah Sufyân at-Tsauri. [Nailul Authâr, 3/60]
Sementara Ulama dari
empat madzhab menegaskan dianjurkannya melaksanakan shalat antara Maghrib dan
Isya, berdasarkan hadits dan praktik para sahabat. Bahkan Ulama madzhab Hambali
menyebutnya sebagai qiyâmul lail. Karena waktu malam itu yaitu waktu antara
Maghrib sampai Shubuh.
Syaikh DR. Ibrâhîm
ar-Ruhaili -Hafizhahullahu Ta’ala- menyatakan bahwa sejumlah Ulama salaf
menganjurkan untuk menghidupkan shalat sunnah antara Maghrib dan Isya dan
mereka katakana, ‘Ini waktu yang dilalaikan (sâ’ât al-ghaflah). [Tajrîd
al-Ittibâ, hlm 157].
Namun perlu diingat
bahwa ini tidak menunjukkan benarnya shalat yang dilakukan sebagian kaum
Muslimin dengan membatasi enam rakaat dengan pahala besar yang disetarakan
dengan pahala ibadah 12 tahun. sebab haditsnya lemah sekali. Hadits yang mereka
gunakan adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
– عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ صَلَّى بَعْدَ
الْمَغْرِبِ سِتَّ رَكَعَاتٍ ، لَمْ يَتَكَلَّمْ فِيمَا بَيْنَهُنَّ بِسُوءٍ ، عُدِلْنَ
لَهُ بِعِبَادَةِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ سَنَةً .
Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu , beliau Radhiyallahu anhu berkata: Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa melakukan shalat sunnah enam rakaat
setelah shalat Maghrib dan di antara shalat-shalat itu tidak berkata dengan
kata-kata yang buruk, maka shalatnya sebanding ibadah dua belas tahun.
Hadits ini
diriwayatkan imam at-Tirmidzi no. 435 dan Ibnu Mâjah no. 1374. Imam at-Tirmidzi
setelah menyampaikan hadits ini berkata: Hadits gharîb, kami tidak
mengetahuinya kecuali dari hadits Zaid bin al-Hubâb dari Umar bin Abi Khats’am.
Beliau berkata lagi, ‘Aku telah mendengar Muhammad bin Isma’il (imam
al-Bukhari) menyatakan bahwa Umar bin abi Khats’am adalah mungkarul hadits
sangat lemah sekali.
Imam adz-Dzahabi
dalam Mîzân al-I’tidâl 3/211: Umar bin Abi Khats’am memiliki dua hadits yang
mungkar yaitu:
أَنَّ مَنْ صَلَّى
بَعْدَ الْمَغْرِبِ سِتَّ رَكَعَاتٍ
Barangsiapa melakukan
shalat sunnah enam rakaat setelah shalat Maghrib
Dan
وَمَنْ قَرَأَ الدُّخَانَ
فِي لَيْلَةٍ
Barangsiapa membaca surat
ad-Dukhan pada satu malam …
Dia meriwayatkan
hadits dari Zaid bin al-Hubâb dan Umar bin Yunus al-Yamâmi dan selainnya. Abu
Zur’ah melemahkannya dan imam al-Bukhâri menyatakan dia mungkarul hadits dan
lemah sekali.
Ada lagi hadits lain
yang mirip dengan ini yaitu:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ
قَالَ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَنْ صَلَّى
سِتَّ رَكَعَاتٍ بَعْدَ الْمَغْرِبِ قَبْلَ أَنْ يَتَكَلَّمَ غُفِرَ لَهُ بِهَا خَمْسِيْنَ
سَنَةً .
Dari Ibnu Umar
Radhiyallahu anhuma , beliau Radhiyallahu anhuma berkata, “Aku pernah mendengar
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa shalat enam rakaat
setelah shalat Maghrib sebelum berkata-kata maka Allâh ampuni dosanya lima
puluh tahun [HR Muhammad bin Nashr al-Maruzi dalam Mukhtashar Qiyâm al-Lail hlm
131].
Hadits ini
disampaikan ibnu Abi Hâtim rahimahullah dalam al-Ilal 1/78 dann berkata: Abu
Zur’ah rahimahullah berkata: Buanglah hadits ini, karena mirip hadits palsu.
Abu Zur’ah rahimahullah juga berkata: Muhammad bin Ghazwân ad-Dimasyqi mungkar
hadits.
Kesimpulan keduanya
hadits yang sangat lemah sekali dan tidak bisa dijadikan dasar dalam
pensyariatan shalat enam rakaat setelah Maghrib. Wallahu a’lam.
Dirangkum dari berbagai sumber kitab hadits.
[Referensi : majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVIII/1436H/2014M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment
Anda boleh berkomentar sesuai dengan tema artikel di atas. Lain dari itu, komentar Anda tidak akan dipublikasikan. Terimakasih.