Mengenal Sosok Kyai Haji Ajengan Ahmad Sanusi: Tokoh Kyai Tradisional Jawa Barat

Kiyai Haji Ajengan AHMAD SANUSI (Ist)

Oleh: Mohammad Iskandar

Di mana seharusnya menempatkan kyai tradisional dalam lingkup sebuah masyarakat. Apa peran mereka dalam masyarakat jika kata "kyai tradisional" sendiri memiliki konotasi serba menghambat kemajuan, bahkan "pembangunan".

Dari tokoh yang sekarang ditampilkan, konotasi tersebut dapat terbantah. Memang tidak cukup dijadikan alasan untuk menggeneralisasi mereka, namun dari tokoh ini dapat dibuktikan kyai tradisional tidaklah pasif terhadap setiap bentuk perjuangan.

"Para agamawan sejak dahulu sering dinilai sebagai penghambat bagi kemajuan," tulis Abdurrahman Wahid dalam pengantarnya untuk buku Horikoshi edisi bahasa Indonesia. (1)

Pernyataan ini, untuk konteks Indonesia dapat dipertegas dengan menyebut kyai atau ulama tradisional sebagai para agamawan itu. (2)

Dan tudingan semacam itu sejak masa kolonial Belanda lebih banyak diarahkan kepada mereka. Kritik sampai kecaman, bukan saja datang dari penguasa non-Islam, melainkan juga dari para mujaddid (kaum reformis) Islam.

Para mujaddid ini, yang umumnya mendapat pengaruh gerakan pembaruan Muhammad Abduh dari Mesir, menganggap kyai dan ulama tradisional itu sebagai pemimpin yang memiliki banyak teori, tapi dalam praktek nihil. Dalam situasi kritis ulama tradisional lebih baik memilih pergi ke Mekkah dan menghabiskan umur di sana ketimbang memimpin santrinya untuk membentuk organisasi guna memperjuangkan kemerdekaan.

Benarkah gambaran mereka sedemikian suram seperti itu ? Tak dapat disangkal, banyak kyai tradisional yang memang bertabiat demikian. Seperti juga kaum reformis yang mengatakan anti kolonial, namun takut mengambil sikap non koperatif, malah tak segan-segan menerima dana bantuan dari pemerintah kolonial untuk pengembangan organisasinya. Harus disebut apakah mereka itu? Pejuang ataukah antek penjajah?

Tulisan ini bukan bermaksud mempersoalkan pejuang dan pengkhianat, namun akan mengungkapkan peran kyai tradisional, dengan mengambil Kyai Haji Ajengan (KHA) Ahmad Sanusi sebagai sebuah contoh. (3)

Lewat kasus ini, dapat terjawab beberapa pertanyaan menyangkut peranan kyai dalam masalah politik pada masa pergerakan nasional. Apakah benar kyai tradisional tokoh yang mau enaknya sendiri atau bahkan penghambat pembangunan?

Nama KHA Ahmad Sanusi dapat dikatakan tidak setenar nama Ahmad bin Muhammad Surkati al-Ansari, Haji Ahmad Dahlan atau Ahmad Hassan. Malah nama KHA Ahmad Sanusi kalah tenar jika dibandingkan dengan Kyai Haji Zainal Mustapa dari Singaparna yang memberontak kepada pemerintah pendudukan Jepang. Nama kyai yang disebutkan belakangan, bukan saja masuk dalam buku sejarah nasional, melainkan juga diabadikan menjadi nama jalan.

Sementara nama KHA Ahmad Sanusi, jangankan tercantum dalam buku sejarah nasional, dijadikan nama gang dekat pesantrennya saja tidak. Padahal namanya itu tercantum sebagai salah seorang tokoh terkemuka Indonesia di Jawa versi pemerintah pendudukan Jepang. (4)

Bahkan kalau ditarik lebih awal, namanya cukup banyak menghiasi arsip pemerintah kolonial Hindia Belanda, dengan catatan sebagai orang yang dianggap berbahaya dan mengancam kewibawaan pemerintah.

Awal Perjalanan

Ahmad Sanusi dilahirkan pada 3 Muharam 1036 Hijriyyah (18 September (1889). (5) Ayahnya, Haji Abdurrakhim bin Haji Yasin, adalah seorang kyai Pesantren Cantayan, Desa Cantayan, Kecamatan Cikembar, Kawedanan Cibadak, afdeling Sukabumi. Ahmad Sanusi merupakan anak ketiga dari istrinya yang pertama. (6) Sejak kecil dia terbiasa dengan lingkungannya yang mempunyai perhatian cukup tinggi terhadap agama dan kehidupan beragama (Islam).

Sebagaimana seorang anak kyai, ia memperoleh perlakuan cukup istimewa, baik dari para santri maupun masyarakat di lingkungan pesantren ayahnya itu. Kemauannya jarang ditentang, tapi sebaliknya apabila tindakannya ada yang dianggap keliru serta menyalahi kaidah dan norma agama, maka banyak orang memperingatkan bahkan mencegahnya. (7)

Bukan saja karena hal itu dianggap berdosa, melainkan juga dianggap bisa menjatuhkan nama dan wibawa orang tuanya. Jadi, proses internalisasi terhadap masalah-masalah keagamaan telah terjadi sejak ia masih kecil. Ditambah lagi ayahnya, seperti umumnya para kyai di pulau Jawa, menginginkan anaknya menjadi seorang ulama seperti halnya dia, sehingga proses sosialisasi pun sudah dimulai sejak usia dini.

Mula-mula Ahmad Sanusi mendapat pelajaran dan pendidikan agama dari ayahnya. Setelah dianggap cukup dewasa, ia disuruh belajar di luar lingkungan pesantren ayahnya. Hal ini dimaksudkan selain memperdalam pelajaran, juga untuk menambah pengalaman dan memperluas pergaulan dengan masyarakat.

Sebagai langkah pertama Ahmad Sanusi pergi ke pesantren-pesantren yang tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya. Guru yang pertama kali dia datangi adalah Kyai Haji Muhammad Anwar dari Pesantren Selajambe, Cisaat. Setelah itu berturut-turut dia berguru kepada Kyai Haji Muhammad Siddik dari Pesantren Sukamantri, Cisaat dan Kyai Haji Djenal Arif, Sukaraja. (8)

Setelah itu ia menuju Kabupaten Cianjur. Di kabupaten ini dia berguru pada para kyai dari Pesantren Cilaku dan Pesantren Ciajag. Dari Cianjur kemudian dia pergi ke Pesantren Gudang, Tasikmalaya. Di pesantren ini dia berguru pada Kyai Haji Su'jai. (9) Setelah itu ia kembali ke Cianjur dan berguru pada Kyai Haji Ahmad Satibi di Pesantren Gentur. (10)

Dari sekian guru dan pesantren yang dia kunjungi, pesantren yang terakhirlah tampaknya paling berkesan bagi Ahmad Sanusi. Padahal di pesantren itu dia tinggal sekitar tiga bulan, waktu yang relatif singkat. Sesama santri di pesantren itu menganggapnya kurang ajar, sebab dia berani bertanya dan mengemukakan pendapat yang berbeda dengan apa yang diterangkan oleh gurunya. Saat itu ia mempunyai pendapat yang berbeda dengan kyai dalam menafsir makna isi satu kitab Ilmu Mantiq (Logika) yang sedang dipelajarinya.

Pada tahun 1909, tak lama setelah kembali dari Pesantren Gentur, Ahmad Sanusi berangkat menuju Mekkah. (11) Menurut keterangan Kyai haji Badri Sanusi, seperti dikutip Muchtar Mawardi, sebelum keberangkatannya itu Ahmad Sanusi terlebih dahulu menikah dengan Siti Juwariyah. (12)

Kepergiannya ke Mekkah, selain menunaikan ibadah haji juga untuk melanjutkan pendidikan de-ngan berguru kepada para ulama lokal ataupun ulama pendatang yang bermukim di kota tersebut. Umumnya guru yang ia datangi adalah para ulama Syafi'iah, misalnya, Haji Muhammad Junaedi, Haji Mukhtar, Haji Abdullah Jamawi, Syaikh Saleh Bafadil dan Said Jawani seorang mufti dari mazhab Sya-fi'i. (13)


Dirilis oleh: A Malik AS (CEO/Pemred sukabumiNews)

1 تعليقات

Anda boleh berkomentar sesuai dengan tema artikel di atas. Lain dari itu, komentar Anda tidak akan dipublikasikan. Terimakasih.

إرسال تعليق

Anda boleh berkomentar sesuai dengan tema artikel di atas. Lain dari itu, komentar Anda tidak akan dipublikasikan. Terimakasih.

أحدث أقدم