Kritisi Pernyataan Wahabi-Salafi, Waketum PERSIS: Bangun Kesepahaman Melalui Dialog Ilmiah
Waketum PP PERSIS, Dr. Jeje Zaenudin (Ist) |
JAKARTA – Wakil Ketua Umum (Waketum) Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP PERSIS) Dr. Jeje Zaenudin mengkritisi komentar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang menyatakan wahabi dan salafi tidak cocok di Indonesia.
Sebelumnya
diberitakan, Menko Polhukam Mahfud MD menyebut paham wahabi dan salafi tidak
cocok di Indonesia. Dia menyebut paham-paham itu hanya cocok di daerah asalnya.
"Dibangun dengan
wahabi salafi, enggak cocok di kita (Indonesia)," kata Mahfud dalam acara
Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah “Menjaga Kedaulatan NKRI”, dikutip dari CNN
Indonesia, Kamis, 21 April 2022.
Mengenai penyebutan
tersebut, Jeje menilai bahwa sampai saat ini tidak ada definisi dan batasan
yang disepakati oleh yang pro maupun yang kontra tentang kempok paham tersebut.
“Apakah wahabi dan
salafi itu merupakan mazhab atau aliran paham tersendiri, atau masih bagian
dari paham dan mazhab ahlusunah?" Kata Jeje dalam keterangan tertulisnya,
Sabtu, 23 April 2022, dilansir dari persis.or.id.
Ia menjelaskan tidak
ada kelompok yang mengeklaim sebagai kelompok wahabi.
"Sehingga, lebih
sering menjadi stigma negatif pada kelompok tertentu yang menganut paham atau
mazhab yang berbeda, dari yang dianut mayoritas muslim Indonesia,"
ungkapnya.
Dirinya memberikan
contoh, umpanya secara teologis menganut paham Ahlulhadits dan secara fikih
lebih suka mengikuti mazhab Hambali.
Hal yang sama juga
dengan kelompok Salafi. Apakah ia merupakan paham dan mazhab tersendiri yang
menyempal dari ahlusunah, atau paham ahlusunah dengan penekanan pada aspek
tertentu yang berbeda dari mayoritas muslim yang lain.
“Hanya mereka secara
terbuka menyebut dirinya sebagai salafi, yang artinya pengikut paham Islam yang
dianut generasi awal Islam,” ucap Jeje.
Oleh sebab itu, Ia
kritisi penyebutan kedua kelompok paham itu sebagai kelompok yang tidak cocok
hidup di Indonesia secara general, tanpa penjelasan rinci aspek-aspek apa saja
yang tidak cocoknya itu.
Jeje khawatir sangat
rawan dan berpotensi dijadikan stigmatisasi kepada pihak-pihak yang tidak
disukai, hanya karena berbeda dengan kelompok mainstream dalam beberapa aspek
pemahaman dan pengamalan ajaran Islam.
“Padahal, bisa jadi
paham itu sejatinya berbasis dalil Al-Qur’an dan Hadits serta diwarisi dari
mazhab-mazhab rujukan generasi awal Islam, yang telah terbukti kebenaran dan
kesalehan mereka,” terangnya.
Dengan adanya pesan
seperti itu, paham keagamaan Islam (maupun agama lain di luar Islam) akan
berbahaya, manakala telah menyimpang dari doktrin-doktrin dasar yang telah
menjadi konsensus para pemimpin agamanya di sepanjang zaman.
“Apalagi jika sudah
masuk pemikiran-pemikiran ekstrim yang mengarahkan kepada permusuhan,
perpecahan, dan peperangan,” jelasnya.
Waketum PERSIS juga
mempertanyakan, apakah dalam kelompok yang dituduh wahabi, atau kelompok yang
mengeklaim salafi itu ada dogma dan doktrin yang menyimpang dari ijma', dan
menyerukan ekstrimisme atau terorisme?
"Tentu saja
susah membuktikannya," jawab Jeje.
Selain dalam kelompok
yang disebut wahabi atau kelompok yang mengklaim salafi itu banyak varian dan
sub kompoknya, juga kecenderungan sikap ekstrim itu selalu ada pada tiap
kelompok paham.
Ia melanjutkan,
sebagian pengamat ada yang berpendapat bahwa bahaya paham wahabi salafi itu
dengan mencontohkan perpecahan dan perang saudara di Iraq, Suriah, Yaman,
Libiya, dan sebagainya. Konon itu dipicu oleh gerakan wahabi salafi. Demikian
pula munculnya kelompok Al-Qaidah, ISIS, dan lainnya, disebut- sebut bermula
dari paham wahabi dan salafi.
“Akan tetapi, semua
tuduhan itu terlalu terburu buru bahkan simplistis, bahkan terkesan mengikuti
framing media Barat. Ada banyak faktor yang diabaikan, dan ada faham khowarij
yang lebih bertanggungjawab terhadap doktrin trologi takfiri daripada
sahabi-Salafi,” tuturnya.
Jeje menilai, dengan
ada pesan seperti itu, justru bisa menjadi kesalahfahaman masyarakat dalam
menyikapi perbedaan menjadi cara-cara tindakan persekusi pada kelompok
tertentu.
“Menurut hemat saya,
yang harus dibangun adalah bagaimana bisa saling memahami dan saling mengerti
melalui dialog yang objek dan ilmiah, dengan semangat ukhuwah dan ilmiah untuk
bisa bekerja sama dan saling menguatkan,” pesannya.
"Kemudian,
menyingkirkan pemahaman yang absolutisme dan klaim kebenaran mutlak sepihak pada masalah-masalah
ijtihadiah," paparnya.
Jeje berpesan, justru
yang harus kita lakukan adalah menekankan pentingnya pemahaman Islam yang
wasathiyah dan kontekstual, dengan kebutuhan mengatasi problem kehidupan
berbangsa dan bernegara yang menjadi tanggungjawab bersama.
Oleh sebab itu,
narasi bahwa wahabi dan salafi tidak cocok di Indonesia malah kontraproduktif
dengan semangat berbangsa dan bernegara yang dibangun di atas pluralitas.
"Kemudian juga masyarakat akan balik bertanya, apakah paham keagamaan yang jelas-jelas keluar dari ahlusunah wal jamaah seperti Ahmadiyah dan Syiah akan dianggap cocok untuk Indonesia, hingga harus dibiarkan dan diterima?" Pungkas Waketum Persatuan Islam itu. (**)
Leave Comments
Post a Comment
Anda boleh berkomentar sesuai dengan tema artikel di atas. Lain dari itu, komentar Anda tidak akan dipublikasikan. Terimakasih.