khazanahIslam
new
Sumber:
Jurnalislam
Kalau Tidak Ada Gebrakan, Buat Apa Ada Kongres Umat Islam?
Wednesday, March 11, 2020
0
Tony Rosyid. Ilustrasi: Jurnis. |
Konggres Umat Islam digelar lagi. Setelah sempat mati
suri di awal Orde Lama dan terkubur di sepanjang era Orde Baru. 1998 Orde Baru
tumbang, Kongres Umat Islam hidup kembali.
Tapi, tak seheroik era tahun 1938 yang mengukuhkan
Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan
1945 yang berhasil melahirkan Partai Masyumi. Satu-satunya partai yang
merepresentasikan umat Islam saat itu.
Pemilu tahun 1955 Masyumi dapat suara. 20,9 persen.
Sebelum akhirnya NU menarik diri dari Masyumi. Masyumi makin melemah dan
akhirnya dibubarkan oleh Soekarno. Di era Soeharto ganti nama menjadi Parmusi.
Tapi, tak lama lahir, dihajar, dan mati juga. Reborn melalui PBB di era
reformasi, tapi Wassalam!
Hebatnya Kongres Umat Islam saat itu, langsung masuk
pada jantung masalah. Berani dan bernyali untuk ambil peran di saat Indonesia
sedang mencari bentuk. Rekomendasinya riil, konkret dan terukur. Bagaimana
dengan kongres sekarang yang dikomandoi panitianya oleh K.H Zaitun Rasmin, Wasekjen
MUI yang namanya viral dan makin populer setelah debat di ILC dengan Ngabalin,
utusan dari istana.
Soal isu, saat ini tak kalah besar dengan isu di tahun
1938 dan 1945. Jika pra dan pasca kemerdekaan isunya adalah bagaimana umat
Islam mengambil peran kemerdekaan dan ikut mengisi panggung politik Indonesia
yang sedang mencari bentuk, maka isu saat ini bagaimana umat Islam memulihkan
perannya setelah banyak diambil, bahkan dirampok oleh para pemilik modal
(kapitalis) yang mengendalikan negeri ini, baik ekonomi maupun politik, melalui
tangan-tangan kekuasaan.
Fakta bahwa reformasi telah melahirkan oligarki tak
bisa dibantah. Merekalah yang mengendalikan negara ini melalui proses
industrialisasi politik. Demokrasi dikendalikan secara liberal oleh penyertaan
modal para cukong sebagai investasi untuk memborong saham di setiap pemilu.
Akibatnya, para pemimpin, elit dan pejabat tinggi tidak lahir dari hati rakyat,
tapi mereka dilahirkan oleh kepentingan konglomerasi.
Umat Islam di Indonesia adalah mayoritas. 86 persen.
Jumlah sebesar itu mesti menyadarkan Umat Islam untuk menjadi tuan rumah di
negeri sendiri. Peran ini bisa diperjuangkan secara struktural melalui parpol,
dan secara kultural melalui ormas yang semua perwakilannya hadir pada hari ini
di kongres.
Umat Islam punya partai Islam. Ada PKS, PKB, PPP dan
PAN. Selama ini empat partai Islam ini nyaris gak pernah akur. Kerja
sendiri-sendiri dengan agenda dan kepentingan masing-masing. Bersaing dengan
isu-isu klasik seperti wahabi, khilafah, Islam garis keras, dst untuk saling
melemahkan. Padahal, partai-partai Islam inilah yang paling potensial untuk
menyuarakan secara struktural berbagai kepentingan Umat Islam dibanding
partai-partai lain.
Umat Islam menginginkan adanya aturan halal food,
halal tourism, dan halal finance misalnya, mungkinkan bisa melalui partai di
luar empat partai Islam itu? Ayo obyektif!
Inilah yang disorot oleh gubernur Bangka Belitung, Dr.
Erzaldi Rosman Djohan, dalam pembukaan seminar “Halal Internasional” di hadapan
para peserta Kongres Umat Islam ke-7 ini.
Gubernur Babel mengeluh kenapa Kredit Usaha Rakyat
(KUR) lebih banyak melibatkan bank konvensional, bukan bank Syari’ah. Dimana
keberkahannya, tanya orang nomor satu di Babel ini. Ia juga menyoroti RUU
Omnibus Law terutama soal pihak yang akan mensertifikasi halal.
Gak usah ribut soal siapa pihak yang berhak
mengeluarkan sertifikat halal, tapi yang lebih penting adalah bagaimana
mengatur strategi untuk memperjuangkan halalisasi industri. Mosok kalah sama
Jepang dan Australia, katanya. Sebuah pemanasan yang inspiratif dan sedikit
berani. Keren Pak Gubernur!
Melalui kekompakan empat partai Islam, idealny aumat
Islam bisa menitipkan semua aspirasi kepentingan dan harapannya. Baik
kepentingan struktural maupun kepentingan substansial.
Kepentingan struktural artinya umat Islam mesti
memiliki keterwakilan secara proporsional dan signifikan di struktur
kepemimpinan bangsa ini.
Untuk memenuhi kebutuhan itu, akan lebih efektif jika
Kongres ke-7 kali ini ikut merekomendasikan partai-partai Islam seperti PKS,
PKB, PPP dan PAN berkoalisi dalam setiap pemilu, baik pilpres maupun pilkada.
Lalu mendorong umat Islam untuk memberi dukungan kepada calon-calon pemimpin
yang didukung oleh empat partai tersebut sebagaimana era 1955 ketika Masyumi
jadi satu-satunya representasi hasil kongres Umat Islam tahun 1945. Berani?
Atau mau diskusi panjang dulu sampai gagasan ini akhirnya masuk selokan karena
tak adanya nyali para ulama dan tokoh Islam yang ikut Konggres ini.
Secara substansial, banyak problem serius yang sedang
dihadapi oleh umat Islam, dan juga bangsa saat ini. Tidak saja problem ekonomi
yang dikuasai oleh 1-10 persen orang terkaya di Indonesia, tapi juga problem
hukum dimana institusi-institusi penegak hukum tak ada tanda-tanda punya
kemauan sungguh-sungguh menjadi panglima keadilan. Tapi sebaliknya
institusi-institusi ini justru seringkali dipakai untuk kepentingan pragmatis
kekuasaan.
Tidak saja merekomendasikan, tapi Kongres Umat Islam
juga mesti mengawal dan memastikan bahwa rekomendasi itu terealisasikan. Jangan
sampai ada anggapan publik bahwa kongres Umat Islam hanya ritual lima tahunan.
Kegiatannya gak didengar umat, rekomendasinya tak lebih dari asesoris kegiatan.
Sekedar kumpul-kumpul ulama, pimpinan ormas dan pejabat.
Jangan sampai
pula masyarakat di bawah nanya: Kongres Umat Islam itu apa sih? Kan gak lucu
kalau pertanyaan itu yang muncul. Ayo buktikan!
Bangka Belitung, 27 Pebruari 2020
*Pemerhati Bangsa
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment
Anda boleh berkomentar sesuai dengan tema artikel di atas. Lain dari itu, komentar Anda tidak akan dipublikasikan. Terimakasih.