#motifasi
artikel
dakwah
new
Jangan Ragu Tampakkan Identitas Islam
Monday, October 9, 2017
0
ustManatahan - “Dan jika mereka berpaling, maka persaksikanlah bahwa kami
adalah orang-orang muslim”. Q. S. Ali Imran/3: 64.
Suatu malam, ketika datang waktu Isya’, Ahmad (bukan nama
sebenarnya) asyik bercengkerama dengan teman beda agama (katakan Joni, nama
samaran). Teman-teman Ahmad yang beragama Islam sudah berangkat untuk
menunaikan shalat berjamaah, sementara Ahmad sengaja tidak berangkat karena
alasan menenggang temannya yang tidak shalat karena bukan seorang muslim.
Melihat Ahmad yang tidak berangkat shalat, Joni terheran-heran dengan sikap
Ahmad, kenapa tidak shalat. Joni bahkan menyuruhnya pergi shalat dan
meninggalkan dirinya sendirian.
Dalam kisah lain, Rifa’i (bukan nama asli), seorang direktur
sebuah perusahaan asing ternama di Jakarta pergi keluar kota untuk sebuah
urusan penting dari perusahaan. Rifa’i pergi mendampingi direktur utama
perusahaan itu, Hendrik, yang sengaja datang ke Indonesia untuk melihat dari
dekat aktifitas perusahaan. Ketika melintasi sebuah masjid, Rifa’i minta izin
kepada atasannya agar berhenti. Hendrik heran, ada apa berhenti di tengah
perjalanan. Rifa’i menjelaskan bahwa sebagai seorang muslim, dia harus
menunaikan shalat Ashar. Kini telah tiba waktu Ashar, maka dirinya harus
shalat. Hendrik yang bukan seorang muslim itu bisa memahami, menyuruh sopir
masuk ke halaman masjid, mempersilahkan Rifa’i dan sopir masuk masjid. Hendrik
di dalam mobil menunggu sampai mereka selesai melaksanakan shalat Ashar.
Fenomena di masyarakat dapat disaksikan, betapa banyak orang
Islam kehilangan identitas keislamannya. Demi pergaulan, shalat ditinggalkan.
Karena pertemanan, identitas Islam dilepas. Karena alasan tenggang rasa dan
toleransi, status mereka sebagai muslim kabur. Padahal, bila seorang muslim
sanggup menunjukkan identitasnya, teman-temannya akan memahami, menghargai, dan
menghormati. Sebaliknya, bila tidak jelas identitasnya, mereka akan merendahkan,
menghinakan, dan meninggalkannya.
Dalam rangka identitas Islam itu, dulu, pada zaman
penjajahan, ada ulama yang mengharamkan seorang muslim memakai dasi dan celana.
Hal itu dapat dipahami sebagai simbol perlawanan terhadap penjajahan, sebab
penjajahan yang dilakukan ternyata tidak saja penjajahan ekonomi, tetapi
merembet kepada penjajahan jati diri, budaya, tradisi, sosial, politik, dan
agama. Buya Hamka mensinyalir bahwa pada masa penjajahan, banyak sekali kaum
muslimin, termasuk kaum terpelajarnya, sudah tidak lagi berkiblat ke Makkah,
tapi sudah berkiblat ke Belanda. Identitas Islam sudah hilang dari mereka, yang
tersisa hanya membaca syahadat ketika mau menikah dan upacara akhir saat
kematian. Mereka sudah tidak mengenal lagi ajaran Islam. Penghapusan identitas
itu sengaja dilakukan kaum penjajah, sesuai dengan nasehat Snock Horgronje
kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, agar menjadikan orang-orang Hindia
Belanda (Indonesia) sebagai bangsa Belanda di Timur. Kulitnya sawo matang,
rambutnya hitam, hidungnya pesek, tapi perilakunya lebih Belanda dari orang
Belanda.
Di era global, dimana budaya yang kuat selalu mendominasi
dan menjajah budaya yang lemah, sering kali kita kehilangan identitas itu.
Identitas Islam tercerabut dari kepribadian seorang muslim. Padahal dari dulu,
Rasulullah Saw. telah mengingatkan agar kita tidak kehilangan identitas: “man
tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum (barangsiapa yang berperilaku seperti kaum
tertentu, maka dia termasuk dalam golongan mereka).
Budaya Barat yang mendera bangsa kita, tidak harus ditelan
mentah-mentah, seakan kita telah berkiblat ke Barat. Kita harus mempu bertahan
menangkis gempuran peradaban dan dan kebudayaan Barat dengan tetap menampilkan
identitas Islam. Kita mesti mampu menampilkan identitas Islam dalam aktifitas
ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Ekonomi liberal harus dihentikan, politik
kotor Machiavelli yang menghalalkan segala cara harus ditumpas, gerakan sosial
individualisme dan sosialisme harus disingkirkan, dan budaya hedonisme permissifisme
(serba boleh) harus ditolak.
Menampakkan identitas Islam bukan fanatisme atau
intoleransi. Menerapkan perilaku hidup islami menjadi sebuah keharusan. Upaya
menerapkan ajaran Islam secara kaffah (totalitas) adalah cita-cita luhur setiap
muslim. Umat Islam tidak akan pernah menjadi khair ummah (umat terbaik, Q.S.
Ali Imran/3: 110) manakala mereka tidak diketahui identitasnya. Hanya dengan
identitas itu mereka dikenal, diketahui, dianut, bahkan dijadikan sebagai
pemimpin peradaban sebagaimana yang pernah terjadi pada masa keemasan Islam
(the golden era of Islam).
Penulis,
Dr. H. Shobahussurur, M.A .
Sourch: Islamedia
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment
Anda boleh berkomentar sesuai dengan tema artikel di atas. Lain dari itu, komentar Anda tidak akan dipublikasikan. Terimakasih.