kajian
new
Juga kaidah yang mengatakan “amrul-imaami
naafidz”: perintah imam (khalifah) berlaku bagi rakyat.
Pilar-pilar Sistem Pemerintahan Islam
Saturday, January 10, 2015
0
MENURUT ALQUR’AN DAN ASSUNNAH
Bagian II
Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, dalam kitabnya Nizhamul Hukm Fil Islam hal 38, ada empat pilar dalam sistem
pemerintahan islam
1. Kedaulatan ditangan syara’
2. Kekuasaan ditangan ummat
3. Mengangkat satu khalifah, bagi seluruh kaum muslim, hukumnya
wajib
4. Khalifah adalah satu-satunya pihak yang berhak mentabanni
(mengadopsi) hukum-hukum syara’ untuk diberlakukan sebagai undang-undang.
1. Kedaulatan ditangan syara’
Sistem pemerintahan Islam sangat berbeda dengan sistem
demokrasi dan sistem-sistem lain diluar ajaran Islam. Dalam Islam, kedaulatan
(siyaddah) ditangan syara’; yakni yang berhak menentukan penilaian baik buruk,
benar salah, halal haram atau wajib tidaknya sesuatu dikerjakan atau terlarang,
adalah hukum syara (syari’at Allah) saja. Akal kebiasaan, tradisi maupun
adat-istiadat, apalagi hawa nafsu, tidaklah berhak untuk ikut menentukan penilaian
baik buruk atau boleh tidaknya suatu
tindakan atau perbuatan dikerjakan.
Dalam QS. An-Nisa: 65 Allah berfirman;
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati
mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya”.
“Hai orang-orang yang (mengaku diri)
beriman, ta’atlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya, juga terhadap ulil amri
diantara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu
(urusan), maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)*,
jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itulah lebih utama (bagi kalian) an lebih baik akibatnya”. (QS.
An-Nisa: 59)
*yakni kepada syara’. Oleh karenanya, yang berkuasa di
tengah-tengah ummat dan individu warga negara dan mengendalikan aspirasi
seluruh warga adalah syari’at yang dibawa Rasulullah saw dimana ummat serta
siapapun warga tunduk kepada hukum-hukum syara’. Oleh karena itu Kedaulatan ada
di tangan Syara’.
2. Kekuasaan ditangan ummat
Dalam sistem pemerintahan
Islam, seorang khalifah memperoleh keduddukan dan kekuasaan setelah dibai’at
oleh ummat. Dalil bahwa syara’ telah menjadikan pengangkatan khalifah oleh
ummat sangatlah tegas dalam hadits-hadits tentang bai’at. Diantaranya adalah
hadits yang diriwayatkan dari sahabat Ubadah bin As-Shamit, yang berkata:
“Kami telah membai’at
Rasulullah saw untuk setia mendengarkan dan menta’ati perintahnya baik dalam
keadaan susah maupun mudah, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun tidak
kami senangi”. (HR. Muslim).
Juga sebuah hadist yang
diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Ada tiga orang yang pada
hari kiamat nanti Allah SWT tidak akan mengajaknya berbicara dan tidak akan
mensucikannya… dan seseorang yang membai’at seorang imam (khalifah) lantaran ada maksud duniawi. Jika kalifah itu
memberikan apa yang dia inginkan, ia tetap setia memenuhi bai’atnya. Namun bila
apa yang diinginkan tidak diperolehnya, dia tidak lagi setia memenuhi bai’atnya”.
(HR. Imam Bukhari dan Muslim)
Jadi, bai’atlah satu satunya metode perpindahan kekuasaan dari ummat ke
khalifah.
Tidak penting proses dan
prosedur teknis menuju perbai’atan tersebut, apakah melalui pemilu seperti yang
kita kenal sekarang ini, untuk mengambil suara seluruh kaum muslimin, pemilihan
oleh para anggota majlis ummat yasng merupakan representasi ummat, ataukah oleh
sekelompok tokoh ummat yang terpercaya (ahlul
haali wal aqdi). Sedangkan yang
mengesahkannya pada jabatan khalifah itu adalah ijab qabul dalam akad khalifah, dimana ummat memberikan kekuasaan
dan kesetiaan (ijab) dengan ridha dan tanpa ada paksaan, dan dia (yang dijadikan
khalifah) pun menerimanya (qabul) secara sukarela.
Bai’at yang deiberikan dengan
sukarela oleh ummat inilah yang secara esensial menunjukkan bahwa kekuasaan (assulthan/authority) ditangan ummat.
Salah satu contoh, saat
pergantian khalifah dari Umar bin Khaththab ra, yang telah wafat kepada
khalifah Utsman bin Affan ra. Panitia pemilihan khalifah; Abdurrahmnan bin Auf
ra mendapatkan mayoritas suara penduduk kota Madinah (ibukota khilafah
Islamiyyah) cenderung kepada Ali bin Abi Thalib ra, dan Utsman bin Affan ra.
Hanya saja kaum muslimin pada waktu itu mensyaratkan agar khalifah
sepeninggalan Umar menetapi aturan-aturan (hukum Syar’i hasil ijtidah) yang
ditetapkan oileh dua khalifah sebelumnya, yakni Abu Bakar Shiddiq ra dan
khalifah Umar ra.
Oleh karena itu, ketika
Abdurrahman bin Auf ra menyampaikan ijaab dalam akad khilafah kepada Ali
menyebut syarat tersebut. Namun Ali tidak mengabulkannya (tidak memberi
qabuul). Ketika di-ijab-kan kepada Utsman, beliau mengabulkannya. Maka jadilah
akad khilafah (ijaab qabuul) dari ummat kepada Utsman bin Affan ra, sehingga
dia menjadi Khalifah setetah wafatnya Khalifah Umar bin Khaththab ra. (Nizhamul Hukm fil Islam hal. 80)
3. Mengangkat Satu Khalifah Fardu Hukumnya Bagi Kaum Muslimin
Kewajiban mengangkat seorang khalifah
bagi seluruh kaum muslimin adalah harga mati yang tak dapat ditawar lagi,
mengingat suatu hadits yang diriwayatkan oleh Nafi dan Umar ra yang berkata;
Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Siapa siapa yang melepas tangannya dari
keta’atan kepada Allah, niscaya ia akan berjumpa dengan Allah di hari qiyamat
tanpa meliliki hujjah (alasan). Dan barang siapa yang mati sedang di pundaknya
tidak ada bai’at, maka matinya adalah seperti mati jahiliyyah”.
Dalam hadits diatas Rasulullah
saw mewajibkan ada bai’at di pundak setiap muslimin agar matinya seperti mati
jahiliyyah, yakni manakala tidak ada khilafah yang menjadi objek bai’at yang
diberikan oleh kaum muslimin, maka siapapun diantara kaum muslimin mati dalam
keadaan berdosa lantaran tidak melaksanakan hukum yang harus ditegakkan
diantara kaum muslimin itu sendiri. Dosa itu baru gugur bagi sebagaian kaum
muslimyang telah berjuang untuk menegakkan khilifah, karena mereka melaksanakan
kewajiban, walaupun belum berhasil lantaran belum memperoleh kecukupan mengingat
ini termasuk fardlu kifayah.
Adapun dalil yang menegaskan
bahwa khalifah itu harus satu orang adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu
Said al-Khudri, bahwa Nabi saw bersabda;
“Aabila dibai’at dua orang khalifah, maka
bunuhlah ang terakhir dari keduanya”. (HR. Imam Muslim).
4. Khalifah adalah satu-satunya pihak yang berhak men-tabanni
(mengadopsi) hukum-hukum syara’ untuk diberlakukan sebagai undang-undang.
Berdasarkan ijma sahabat,
bahwa khalifahlah yang berhak men-tabanni hukum-hukum syar’I guna ditetapkan
sebagai undang-undang untuk dilaksanakan dalam kehidupan barmasyarakat dan
bernegara.
Hal ini dimaksudkan untuk
perkara-perkara yang hukumnya tidak qath’i; memungkinkan berbagai penafsiran
hukum dari para fuqaha atau mujtahidin. Sehingga dengan penetapan tersebut
dalam prakteknya tidak menimbulkan perselisihan, karena sudah ditetapkan dalam
undang-undang, termasuk dalam perkara ini adalah masalah-masalah mubah yang
kewenangan untuk mengaturnya diserahkan oleh syari’at Islam kepada seorang
khalifah.
Ijma’ sahabat ini diambil dari
kaidah ushul fiqh;
“Amrul-imaami
yurfa’ulkhilaafi”, yang artinya: perintah imam (khalifah) menghilangkan
perselisihan (dikalangan fuqaha)
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment
Anda boleh berkomentar sesuai dengan tema artikel di atas. Lain dari itu, komentar Anda tidak akan dipublikasikan. Terimakasih.