Dua Aspek Utama tentang Kemuliaan Akhlak Nabi Muhammad SAW

Ilustrasi Nabi Muhammad SAW. (Int)


Dua aspek utama tentang kemuliaan akhlak Nabi Muhammad SAW, menjadi topik utama dalam khutbah yang disampaikan Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Muhamad Rofiq Muzakkir, di Masjid AR Fachruddin Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, Jum’at (14/11/2025).

Dua aspek utama tersebut yakni keteladanan beliau sebagai pemimpin yang bekerja keras dan menolak keistimewaan, serta kepribadian beliau yang menyenangkan dan suka mendengarkan.

Rofiq Muzakkir menjelaskan bahwa kemuliaan akhlak Nabi Muhammad SAW merupakan hal yang secara eksplisit dipuji oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an. Dalam Surah Al-Qalam ayat 4, Allah berfirman, “sesungguhnya engkau Muhammad sungguh benar-benar berada di atas akhlak yang mulia,” di mana ayat ini menggunakan dua kali huruf taukid untuk memberikan penegasan.

Pemimpin yang Bekerja Keras dan Berkorban

Salah satu bentuk ketinggian akhlak Nabi Muhammad SAW yang dipaparkan adalah bahwa beliau adalah pribadi yang bekerja keras dan menunjukkan pengorbanan untuk menegakkan agama Allah kepada umatnya.

Hal ini dicontohkan melalui kisah yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud dan perawi hadis lainnya, termasuk Imam Ahmad dalam Kitab Musnad, mengenai peristiwa Perang Badar pada tahun kedua Hijriah. Perang Badar terjadi dalam situasi yang sulit, di mana umat Islam mengalami kesulitan secara sosial, politik, dan finansial. Perang diinisiasi untuk mengambil kembali harta kekayaan umat Islam yang disita oleh kafir Quraisy.

Untuk mencapai medan perang Badar, yang jaraknya sekitar 150 km (setara perjalanan Yogyakarta menuju Purwokerto pada ukuran modern), kurang lebih 300 sahabat harus berangkat. Perjalanan ditempuh dalam waktu 4 hingga 5 hari.

Rasulullah SAW sendiri memberikan teladan pengorbanan tersebut. Beliau berbagi satu unta dengan dua sahabat: Ali bin Abi Thalib (sepupu sekaligus menantu) dan Abu Lubabah. Karena tidak mungkin seekor unta menanggung beban tiga orang, mereka bertiga harus bergantian naik dan berjalan kaki.

Ketika kedua sahabat menawarkan diri untuk terus berjalan kaki agar Rasulullah tidak perlu turun dari unta, Rasulullah menolak tawaran tersebut. Beliau bersabda, “Kalian berdua tidak lebih kuat dari saya dan saya sendiri juga membutuhkan pahala sebagaimana kalian membutuhkan pahala”.

Muhamad Rofiq Muzakkir menekankan dua pelajaran dari kisah ini:

Pertama, Rasulullah tidak mau diistimewakan dan menunjukkan bahwa sebagai seorang pemimpin, beliau harus sehat dan mampu menjalankan tugas seberat para sahabatnya.

Kedua, setiap pengorbanan yang menghabiskan waktu, tenaga, dan harta, harus diniatkan untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT.

Pribadi yang Menyenangkan dan Senang Mendengarkan

Aspek akhlak mulia kedua yang disorot adalah bahwa Rasulullah SAW adalah pribadi yang menyenangkan bagi para sahabatnya. Beliau bukanlah pemimpin yang ditakuti; sebaliknya, beliau adalah pemimpin yang selalu dicintai dan dirindukan, di mana para sahabat selalu ingin berada di dekat beliau untuk bercerita dan didengarkan.

Dalam sebuah hadis riwayat Jabir bin Sumroh, Jabir mengaku telah duduk di forum (halaqah) Rasulullah lebih dari 100 kali. Ketika para sahabat bertukar syair atau bernostalgia mengenai masa Jahiliyah, Rasulullah diam saja (wahua sakitun), mendengarkan, dan sesekali melempar senyum sebagai bentuk apresiasi.

Rasulullah SAW digambarkan sebagai pribadi yang bassam (suka tersenyum). Walaupun beliau juga dikenal suka menangis ketika bermunajat di malam hari; saat bersosialisasi dengan para sahabat, beliau adalah orang yang paling suka tersenyum.

Ini memberikan pelajaran penting dalam kepemimpinan. Seorang pemimpin memang harus memiliki kemampuan berbicara dan berpidato, tetapi kemampuan mendengarkan dan membiarkan orang lain berekspresi juga sangat diperlukan. Rasulullah mencontohkan sikap tawadhu (rendah hati) dengan tidak mau menjadi pusat perhatian atau mendominasi sebuah perkumpulan atau forum.

Selain itu, Rasulullah SAW juga mengajarkan adab interaksi sosial yang penuh perhatian. Misalnya, Beliau berjabat tangan dengan erat, menunjukkan keseriusan. Jika lawan bersalaman ingin berlama-lama, beliau akan membiarkannya, menunjukkan jabat tangan yang hangat dan penuh apresiasi.

Contoh lainnya ialah ketika dipanggil dari belakang, Rasulullah tidak hanya menolehkan kepala, melainkan memutarkan keseluruhan badannya, menunjukkan perhatian penuh kepada lawan bicaranya.

Muhamad Rofiq Muzakkir menutup khutbahnya dengan harapan agar Allah SWT menanamkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW di dalam hati umat Islam, serta memberikan keinginan untuk terus meniru teladan beliau. (*)

Post a Comment

Anda boleh berkomentar sesuai dengan tema artikel di atas. Lain dari itu, komentar Anda tidak akan dipublikasikan. Terimakasih.

Lebih baru Lebih lama