Bangun Subuh Itu Sangat Berat, Insya-Allah Kami Mampu
Oleh: Robani Rahman
Asatiz Pesantren
PERSIS 100 Banjarsari
Udara di waktu itu
begitu menusuk tulang belulang kami. Kami tak kuasa menyingkap selimut lembut
nan tebal kami. Bantal dan guling yang baru dijemur di terik siang seakan
menambah kepuasan tidur di malam itu. Kami tak tahan menahan kantuk. Kami tak
rela menolak godaan bunga tidur yang terus-terusan melambaikan aroma kenikmatan
tidur pulas yang pada saat itu banyak insan terbuai dalam pelukan sang mimpi.
Malam itu begitu sayang beribu sayang untuk dilewatkan begitu saja. Malam
sepertiga atau sepertiga malam namanya.
Kami berat membuka
mata yang sudah beberapa jam ke belakang tertutup rapat tak berdaya. Kami
ibarat seonggok daging yang tak bisa apa-apa manakala lelah dan kantuk berat
menyelimuti raga ini. Yang bisa kami lakukan adalah menuruti salah satu nikmat
yang Allah Swt. berikan kepada kami ini.
Ya, kami tidur dengan
begitu pulasnya. Kami terbiasa setiap hari seperti ini setelah menjalani lelahnya
aktivitas di siang hari. Macam-macam aktivitas tanpa batas di kala matahari
setia menemani kami. Kami tidur dengan nyenyaknya, karena kami yakin waktu
malam adalah saatnya tubuh ini mendapatkan haknya secara utuh.
وَّجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ
سُبَا تًا
Dan Kami menjadikan
tidurmu untuk istirahat. (QS. An-Naba' 78: Ayat 9)
Akan tetapi, hati
kami tidak tidur. Walaupun selama berjam-jam tubuh kami terbujur kaku di tempat
pembaringan, akan tetapi kami sadar sesadar-sadarnya. Dari mulai kami menghadap
tidur, kami ingat kepada Sang Pencipta kami sambil melaksanakan berbagai macam
sunnah Rasulullah Saw. tatkala hendak tidur kemudian diakhiri dengan berdoa,
بِسْمِكَ اللّهُمَّ
اَحْيَا وَ بِسْمِكَ اَمُوْتُ
“Dengan
nama-Mu, ya Allah, aku hidup, dan dengan nama-Mu aku mati.” (HR Bukhari dan
Muslim)
Sebuah doa yang
sangat singkat, tetapi padat akan makna dan dalam tatkala kita lenyapi hayati
berkali-kali. Karena kekuatan ilmu dan imanlah, kami yakin ketika kami
menghadap tidur kami seperti "belajar" menghadapi kematian suatu saat
nanti. Yang kematian itu Allah Swt. akan ambil sesuai kehendak-Nya dan sudah
tertulis jelas tak akan pernah meleset.
Soal kapan waktu itu
tiba tidak pernah ada yang tahu. Tidak lebih tidak kurang. Tepat waktu. Karena
kami yakin hidup dan mati kami hanya karena Allah swt. Kami tak ragu sama
sekali. Jadi kami siapkan tidur kami ini menghadapi kematiannya dengan berbekal
amal shalih. Coba kita renungkan ayat Al-Qur’an yang begitu agung ini,
اَللّٰهُ يَتَوَفَّى
الْاَ نْفُسَ حِيْنَ مَوْتِهَا وَا لَّتِيْ لَمْ تَمُتْ فِيْ مَنَا مِهَا ۚ فَيُمْسِكُ
الَّتِيْ قَضٰى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَ يُرْسِلُ الْاُ خْرٰۤى اِلٰۤى اَجَلٍ مُّسَمًّى
ۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰیٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
Allah memegang nyawa
(seseorang) pada saat kematiannya dan nyawa (seseorang) yang belum mati ketika
dia tidur; maka Dia tahan nyawa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan
Dia lepaskan nyawa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sungguh, pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran) Allah bagi kaum yang berpikir.
(QS Az-Zumar [39] Ayat 42)
Kembali ke sepertiga
malam itu. Pada awalnya kami pun berat seberat-beratnya menghadapinya. Setiap
pukul 03.00 waktu indonesia barat itu kami dibangunkan oleh suara merdu salah
satu ustaz kami, yaitu Ustaz H. Encim Ghani. Tak pernah tidak ustaz kami yang
satu ini dengan semangat 45-nya konsisten alias istiqamah mengawali hari dengan
azan awal.
Sebelumnya ada ustaz
kami yang sudah wafat beberapa waktu lalu, yang sudah bertahun-tahun lamanya
menemani waktu sepertiga malam kami, dengan lengkingan suara khas azannya,
yaitu ustaz Uhad Hadir. Semoga Allah Swt. mengampuni segala dosa-dosanya dan
menerima segala bentuk amal kebaikannya, serta menempatkannya di tempat terbaik
di sisi-Nya. Aamiin.
Berbarengan dengan
azan awal itu, lima belas menit atau setengah jam berikutnya, kami pun
digebrag-gebrag oleh pembimbing kami, yaitu asatidzah asrama yang dipimpin
langsung oleh Ustaz Fauzan Adima yang tanpa lelahnya membimbing kami.
Seringnya tiap hari
kami seperti itu. Tiada hari tanpa alarm-alarm peringatan bangun tahajud dari
asatiz kami. Tak lelah dan tak bosannya mereka menyadarkan akan pentingnya
bangun di sepertiga malam.
Kami pun seperti
terpaksa saat itu diawal mula kami jadi seorang santri. Kami seperti dongkol
nan sebal ketika suara khas pembimbing kami mengganggu malam yang indah itu.
Kami pun seperti terpaksa dan terbebani saat itu. Kami seperti
"dendam" pada keadaan yang tak menyenangkan tersebut.
Rasa-rasanya ingin
pulang ke rumah saja dan tidur di kamar idaman kami. Selalu terbayang kasur
empuk nan halus ditemani nyala televisi dengan berbagai macam acara favoritnya.
Tak lupa suguhan masakan dari ibunda tercinta yang setia menemani kami, sambil
memainkan smartphone berisi konten-konten Youtube dan game yang kami unduh
setiap saat.
Oh, indahnya apabila
kami kembali ke rumah saja dan berhenti jadi anak pondok ini. Kami iri pada
mereka yang bebas pulang-pergi setiap hari maupun kapan saja ke rumah mereka.
Akan tetapi, itu dulu
sekali di awal-awal kami mondok di pesantren tercinta kami. Lain dulu lain
sekarang. Yang kami butuhkan hanya beberapa waktu saja, atau lebih tepatnya
rata-rata satu minggu sampai satu bulan, kami bertahan dalam keterpaksaan
seperti itu.
Proses yang sebentar
sebenarnya sampai kami benar-benar secara otomatis seperti sekarang ini. Bangun
dengan keyakinan penuh di sepertiga malam bahwa bangun kami ini bernilai
ibadah. Bangun dengan rasa ikhlas, insyaallah karena kami yakin dengan ikhlas
lillah, semuanya akan ringan tanpa hambatan. Ringan membuka mata kami yang
sudah tertutup sekian lama. Mudah menyingkirkan berbagai macam godaan yang
telah disebutkan di paragraf-paragraf awal di atas.
Kemudian tak lupa kami
berbisik berdoa,
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا
وَإِلَيْهِ النُّشُوْرِ
"Segala puji
bagi Allah, yang telah membangunkan kami setelah menidurkan kami, dan
kepada-Nyalah kami dibangkitkan."
Dan tak lupa
dibarengi dengan berbagai macam sunnah Rasulullah Saw. lainnya ketika sudah
bangun tidur. Itu rutin sekali kami lakukan di pondok ini. Pondok Pesantren
Persatuan Islam 100 tercinta ini. Kami melakukannya otomatis seolah sudah
terbiasa dan tanpa hambatan sama sekali. Ketika sesuatu sudah menjadi kebiasaan
maka kebiasaan ini sudah menjadi karakter yang mengakar kuat pada diri kami.
Semuanya sudah menjadi keseharian yang melekat pada jiwa kami.
Gerakan Subuh
Berjamaah/Pejuang Subuh
Akhir-akhir ini atau
beberapa tahun kebelakang di pelbagai daerah di Indonesia memang ramai sekali
aktivis-aktivis pejuang subuh. Sebuah komunitas yang memiliki motivasi yang
sangat mulia membuat jamaah shalat subuh sama jumlahnya dengan jamaah ketika
shalat Jum'at.
Mereka merasa
prihatin dengan kondisi jamaah shalat berjamaah di waktu shalat subuh yang
selalu berisikan para veteran hidup di atas kepala empat, atau bahkan rata-rata
kepala lima ke atas. Itu pun hanya satu sampai dua shaf saja tiap berjamaahnya,
bahkan lebih banyak yang setengah shafnya saja di tiap masjidnya.
Bahkan, saking
parahnya, katanya ada salah satu masjid yang berisikan orang yang multi talenta
alias serba bisa. Yang adzan dia; yang iqamah dia; yang imam masih dia; eh,
makmumnya juga cuma dia seorang. Artinya cuma dia saja jamaah masjid di
tempatnya saat itu. Miris sekali bukan?
Untuk itu komunitas
ini dibuat dan menjamur dimana-mana. Mereka merasa miris dengan keadaan yang
sangat tidak menyenangkan sekali untuk ukuran negara mayoritas kaum muslim
seperti Indonesia ini. Hal ini justru akan membuat senang kaum kuffar yang
melihat fenomena ini. Mereka akan tertawa terbahak-bahak menyaksikan fakta umat
Islam dalam hal melaksanakan ritual keagamaannya yang semakin ke sini semakin
pudar saja ghirrah-nya.
Terdorong latar
belakang tersebut, maka menjamurlah berbagai macam komunitas pejuang subuh
tersebut. Tentu sesuai dengan namanya yaitu pejuang subuh, maka waktu subuh
adalah waktu yang begitu berat untuk bangun.
Kemudian dilanjutkan
dengan mengambil air wudhu, lalu melangkahkan kaki ke masjid untuk melaksanakan
ibadah shalat berjamaah, kemudian disambung dengan berbagai macam kajian atau
tadarus bersama.
Makanya, waktu shalat
subuh ini harus benar-benar diperjuangkan dengan sekuat tenaga. Hanya orang-orang
yang berjiwa pejuang saja yang berhasil melewati rintangannya. Hanya manusia
yang beriman superlah yang akan dengan mudah melahap berbagai godaan yang
merintang. Orang-orang yang bangun subuh dan berjamaah shalat subuh adalah
manusia terpilih dan sangat sedikit jumlahnya.
Coba survey saja di
masjid masing-masing dari pembaca. Apakah shalat subuhnya sudah sama dengan
shalat-shalat berjamaah lainnya? Terlebih sama seperti shalat Jumat? Atau
justru shalat subuhnya hanya berisikan pemuda-pemuda 40—50-an tahun yang lalu
yang sudah begitu sepuh pada masa kini?
Ke manakah wahai
pemuda generasi masa depan itu? Generasi penerus perjuangan Islam? Kenapa harus
ada istilah pejuang subuh? Apakah subuh itu memang harus begitu diperjuangkan
dengan keras seperti memperjuangkan seorang kekasih tercinta? Sekuat apakah dirimu dihadapkan pada waktu
subuh yang lebih enak tidur saja daripada bangun untuk shalat?
Kami sebagai santri
sudah terbiasa dengan shalat subuh berjamaah yang membuat masjid di lingkungan
kami penuh meluber sampai keluar. Bahkan kami bangun jauh sebelum waktu subuh
berkumandang. Kami juga bangun untuk melaksanakan tahajjud atau
qiyamullail-nya. Kami bangun pula untuk melaksanakan makan sahur shaum
Senin-Kamisnya. Atau bahkan untuk sekedar membersihkan diri untuk mandi kami
sudah terbiasa bangun melakukannya di kala ayam jago memulai kokokannya yang
pertama.
Kami dari dulu sudah
terbiasa dengan keadaan seperti ini. Ilmu dan iman kamilah yang membuat kami
seperti ini. Dan tentu tak lupa atas kehendak Allah Swt. pulalah kami bisa
istiqamah seperti sekarang ini. Keyakinan yang terpupuk karena ilmu agama yang
sehari-hari kami lahap di Pesantren Persatuan Islam 100 inilah yang membuat
iman kami mewujud menjadi amal yang nyata setiap hari. Itulah kami santriwan
dan santriwati PPI 100 Banjarsari atau banyak orang yang menyebutnya PPI CEPE.
Terkhusus untuk
amalan bangun subuh yang kata sebagian orang itu berat dan harus diperjuangkan,
Alhamdulillah atas izin Allah Swt. sangat mudah sekali untuk kami kerjakan setiap
hari sebagai santri di pondok tercinta ini.
Jadi mungkin, tanpa
bermaksud menyepelekan komunitas-komunitas pejuang subuh tadi, izinkan saja
kami melabeli diri kami sebagai "PEJUANG SUBUH" yang sebenarnya.
Wallahu A'lam.
Leave Comments
Post a Comment
Anda boleh berkomentar sesuai dengan tema artikel di atas. Lain dari itu, komentar Anda tidak akan dipublikasikan. Terimakasih.