alquran
dakwah
hadits
new
Majmu’ah Al-Fatawa. Cetakan keempat, tahun 1432 H.
Ahmad bin Taimiyyah Al-Harrani. Penerbit Darul Wafa’.
Kembali kepada Al-Quran dan Assunnah
Sunday, December 9, 2018
0
Kembali Pada Al Quran Dan Sunnah (Hadits) Bukanlah Berarti
Melupakan Ulama
Ketika kita mengajak kembali pada Al-Qur’an dan Al-Hadits,
bukan berarti kita meninggalkan perkataan para ulama atau meninggalkan pendapat
madzhab. Bahkan boleh kita mengikuti pendapat ulama selama tidak keluar dari
ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Siapa yang mencintai
para ulama, boleh baginya mengikuti pendapatnya selama pendapat tersebut sesuai
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seperti itu disebut muhsin (orang yang baik).
Bahkan keadaan ini lebih baik daripada yang lainnya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 22:
249)
Rambu Ketika Bermadzhab
Bermadzhab itu boleh asalkan kita mau mengikuti rambu-rambut
berikut ini.
Rambu pertama: Harus diyakini bahwa bermadzhab bukan
dijadikan standar kawan dan musuh yang akhirnya memecah belah persatuan kaum
muslimin. Yang tepat, yang jadi prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang
dijadikan standar kawan adalah jika mengikuti Al Qur’an dan petunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta ijma’ (konsensus) para ulama kaum
muslimin. Menyelisihi ketiga hal tadi, berarti dijadikan standar untuk bara’
atau berlepas diri.
Rambu kedua: Tidak boleh seseorang meyakini bahwa setiap
muslim wajib mengikuti imam tertentu, tidak boleh mengikuti imam lainnya.
Mengikuti satu imam inilah sebagai standar kebenaran, tidak pada lainnya.
Ibnu Taimiyah berkata, “Yang bisa kita katakan pada orang
awam, hendaklah ia taklid (ikut saja pendapat) dari satu orang, tanpa kita
tentukan harus ikut Zaid atau ‘Amr. Sedangkan jika kita katakana, “Wajib bagi
orang awam untuk taklid pada si A atau si B (dengan menunjuk orang tertentu,
lalu dilarang ikuti yang lain), seperti itu bukanlah prinsip orang muslim yang
sebenarnya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 22: 249)
Rambu ketiga: Imam yang diikuti madzhabnya tersebut harus
diyakini bahwa ia hanya diaati karena ia menyampaikan maksud dari agama dan
syari’at Allah. Sedangkan yang mutlak ditaati adalah Allah dan Rasul-Nya.
Rambut keempat: Menjaga diri agar tidak terjatuh pada
hal-hal yang terlarang sebagaimana yang dialami para pengikut madzhab di
antaranya:
Fanatik buta dan ingin berpecah belah.
Berpaling dari Al Qur’an dan As-Sunnah karena yang
diagungkan adalah perkataan imam madzhab.
Membela madzhab secara overdosis bahkan sampai menggunakan
hadits-hadits dhaif agar orang lain mengikuti madzhabnya.
Mendudukkan imam madzhab sebagai Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. (Ma’alim Ushul Al-Fiqh, hlm. 496-497)
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
أَمَّا وُجُوبُ اتِّبَاعِ الْقَائِلِ فِي
كُلِّ مَا يَقُولُهُ مِنْ غَيْرِ ذِكْرِ دَلِيلٍ يَدُلُّ عَلَى صِحَّةِ مَا يَقُولُ
فَلَيْسَ بِصَحِيحِ ؛ بَلْ هَذِهِ الْمَرْتَبَةُ هِيَ ” مَرْتَبَةُ الرَّسُولِ ” الَّتِي
لَا تَصْلُحُ إلَّا لَهُ
“Adapun menyatakan bahwa wajib
mengikuti seseorang dalam setiap perkataannya tanpa menyebutkan dalil mengenai
benarnya apa yang ia ucapkan, maka ini adalah sesuatu yang tidak tepat.
Menyikapi seseorang seperti ini sama halnya dengan menyikapi rasul semata yang
selainnya tidak boleh diperlakukan seperti itu.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 35: 121)
Allah Ta’ala berfirman,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى
يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا
مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka
sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.” (QS. An- Nisa’: 65)
Bermadzhab dan Ikuti Ulama itu Boleh, Asalkan …
Dijadikan sebagai wasilah (perantara untuk belajar), bukan
tujuan.
Untuk menghilangkan mafsadat (kerusakan) lebih besar. (Lihat
Ma’alim Ushul Al-Fiqh, 495)
Prinsip Taat Ulama
Wajib mentaati ulama ketika selaras dengan perintah Allah
dan Rasul-Nya. Namun ketaatan pada ulama bukan berdiri sendiri, artinya jika
tidak bersesuaian dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, maka wajib ditinggalkan.
Kita diperintahkan untuk mentaati ulama. Namun kalau ada
perselisihan kembali pada Allah dan Rasul-Nya sebagaimana dalam ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)
Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi:
Ma’alim Ushul Al-Fiqh ‘inda Ahli As-Sunnah wa Al-Jama’ah.
Cetakan kesembilan, tahun 1431 H. Muhammad bin Husain bin Hasan Al-Jizaniy.
Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment
Anda boleh berkomentar sesuai dengan tema artikel di atas. Lain dari itu, komentar Anda tidak akan dipublikasikan. Terimakasih.