Enam Keunggulan Para Sahabat yang Tidak Dimiliki Generasi Setelahnya

ustManatahan – Para sahabat Nabi lebih mulia daripada generasi sesudah mereka. Hal disebabkan karena beberapa faktor:

Pertama, mereka bisa mengindera sesuatu yang gaib seperti ketika melihat sesuatu yang nampak. Sampai-sampai ketika salah seorang dari mereka sedang berada dalam sebuah peperangan, seandainya ia menengadahkan tangannya, niscaya ia bisa memetik anggur surga karena keyakinannya dengan janji Ash-Shôdiqul Mashdûq.

Kedua, mereka lebih dermawan ketika mengorbankan dengan darah daripada ketika kita berderma dengan harta. Cukuplah salah seorang dari mereka menumpahkan darahnya fi sabîlillâh hanya dengan mendengarkan beberapa patah kata dari Rasulullah. Sementara itu, salah  seorang penceramah kita berbicara dengan panjang lebar guna meminta infak yang berupa harta untuk mengharap ridha Allah, tetapi kita tetap saja bakhil. Andaipun kita mau berinfak, kita selalu mengungkit-ungkitnya.

Ketiga, orang yang bermaksiat di antara mereka lebih bersemangat menghadapi kematian demi menyucikan dirinya, sekalipun hal itu bisa berakibat kepalanya hilang. Katakanlah kepadaku demi Rabb-mu, keberanian seperti apakah yang telah ditunjukan oleh Mâ’iz dan wanita Al-Ghômidiyyah dalam rangka meminta untuk disucikan oleh Rasûlullâh Saw?

Keempat, ilmu para shahabat diamalkan dan wawasan mereka sesuai dengan kebutuhan mereka. Sementara saat ini, ilmu menjadi sebuah kesenangan, pemikiran menjadi khayalan, dan wawasan bagaikan model.

Kelima, para shahabat hidup dengan secukupnya. Adapun siapa saja yang memiliki kelebihan harta, ia akan mempersembahkannya sebagai bekal di akhirat. Namun, hal ini lain dengan orang-orang setelah mereka. Orang-orang tersebut memiliki profesi menumpuk harta, dan kesibukannya mengejar sesuatu yang bakal lenyap sebagai sebuah kreativitas. Karena itu, kehidupan yang berlebihan pun melalaikannya dari beramal.

Keenam, mereka melaksanakan amalan hati dengan sebaik-baiknya, baik berupa khauf (rasa khawatir), raja’ (pengharapan), raghbah (kecintaan), rahbah (kebencian), khasyyah (ketakutan), mahabbah (kesenangan), serta dibarengi dengan amalan anggota badan mereka. Adapun orang-orang setelahnya, mereka lebih memperhatikan penampilan lahiriah dibandingkan yang batiniah. Sehingga, perbuatan dan perkataan mereka pun tak luput dari cela. Sebab:

فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ

 “Di dalam jasad terdapat sekerat daging, apabila ia baik maka baik pula seluruh jasadnya, dan apabila ia rusak maka rusak pula seluruh jasadnya.”[1]

[1] Muttafaqun `alaih.

Penulis : Dhani El_Ashim

Diambil dari Mashâri`ul `Usyâq karya Dr. A’idh bin Abdillah Al-Qarni
Previous article
Next article

Leave Comments

Post a Comment

Anda boleh berkomentar sesuai dengan tema artikel di atas. Lain dari itu, komentar Anda tidak akan dipublikasikan. Terimakasih.

Ads Atas Artikel

Ads Tengah Artikel 1

Ads Tengah Artikel 2

Ads Bawah Artikel